Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politikon makhluk politik. Bagi sebagian orang, ini mungkin terdengar sebagai istilah filosofis yang rumit atau bahkan usang. Namun, sesungguhnya frasa ini adalah kunci untuk memahami hakikat terdalam manusia: bahwa ia tidak bisa hidup sendiri, dan bahwa ia menemukan dirinya yang sejati ketika hidup bersama dalam tatanan sosial yang disebut negara. Politik bukan sekadar urusan kekuasaan atau jabatan, tetapi merupakan panggung besar tempat manusia menyatakan dirinya sebagai makhluk yang berpikir, berbicara, dan bertindak dalam ruang publik.
Dalam pandangan Aristoteles, manusia baru bisa menjadi utuh jika hidup dalam polis, atau negara yang beradab. Di sanalah ia berperan aktif dalam membentuk hukum, menentukan arah kebijakan, dan menjaga nilai-nilai keadilan. Tanpa keterlibatan dalam kehidupan politik, manusia hanyalah individu yang terputus dari peran sosialnya, kehilangan makna dan arah. Politik, dalam pengertian ini, bukanlah pilihan tambahan dalam hidup manusia, melainkan kebutuhan kodrati yang tak terpisahkan dari keberadaannya.
Sayangnya, dalam realitas modern, politik sering kali dianggap kotor dan menjijikkan. Banyak orang menarik diri, bersikap apatis, dan memutuskan untuk tidak ikut campur. Padahal, dalam dunia yang dijalankan oleh politik, sikap tidak peduli justru menyerahkan masa depan kepada mereka yang mungkin tidak memiliki kepedulian. Diam bukanlah netralitas; diam adalah bentuk pasif dari pengkhianatan terhadap kepentingan bersama. Aristoteles tentu akan melihat apatisme ini sebagai bentuk kejatuhan manusia dari kodratnya yang luhur.
Negara, menurut Aristoteles, bukan sekadar institusi administratif atau aparat hukum. Negara adalah wujud etika tertinggi, tempat manusia belajar menjadi warga yang bermoral, adil, dan bijak. Artinya, negara tidak boleh sekadar berfungsi untuk menertibkan, tetapi harus mampu menciptakan ruang bagi manusia untuk tumbuh secara utuh baik secara moral, sosial, maupun spiritual. Ketika negara gagal menjalankan fungsi ini, maka ia kehilangan jiwanya sebagai tempat hidup manusia yang beradab.
Kondisi politik di Indonesia hari ini memberi cermin suram akan kenyataan tersebut. Politik sering kali dijalankan atas dasar transaksi, bukan nilai. Demokrasi dibajak oleh oligarki, hukum menjadi alat kepentingan, dan suara rakyat hanya dicari saat pemilu tiba. Jika kita mengikuti Aristoteles, maka yang sedang terjadi bukan sekadar penyimpangan teknis, melainkan penyimpangan kodrati: negara sedang menjauh dari fungsinya sebagai polis yang adil dan etis.
Dalam konteks inilah, kita perlu merebut kembali makna politik yang sejati. Bukan dengan marah-marah tanpa arah, tetapi dengan membangun kesadaran kritis, budaya dialog, partisipasi aktif, dan pembentukan warga negara yang sadar akan tanggung jawab sosialnya. Aristoteles mengajarkan bahwa politik yang sehat adalah yang mengarah pada kebaikan bersama (common good), bukan sekadar kepentingan golongan. Maka, tugas kita hari ini adalah menghidupkan kembali ruh politik sebagai alat untuk membentuk masyarakat yang adil, inklusif, dan bermartabat.
Karena pada akhirnya, manusia adalah zoon politikon makhluk politik yang diciptakan untuk hidup dalam tatanan bersama. Jika kita menyerahkan politik kepada mereka yang hanya haus kekuasaan, maka kita juga sedang menyerahkan takdir kita kepada sistem yang mengabaikan nilai. Maka tidak ada pilihan lain: keterlibatan adalah keharusan. Bukan karena kita haus jabatan, tetapi karena kita ingin memastikan bahwa negara ini benar-benar menjadi milik semua, bukan hanya milik segelintir.
Tulisan ini juga diterbitkan di platform media penulis seperti blog dan kompasiana.
Daftar pustaka
Aristoteles. (2001). Politik (Terj. Pustaka Pelajar). Pustaka Pelajar. (Karya asli diterbitkan 350 SM)
Kaelan. (2004). Filsafat Pancasila dalam konteks filsafat Indonesia. Paradigma.
Magnis-Suseno, F. (1987). Etika politik: Prinsip moral dasar kenegaraan modern. Gramedia.
Mangunwijaya, Y. B. (1999). Politik itu suci. Penerbit Buku Kompas.
Santosa, B. (2014). Keterlibatan politik warga negara dalam negara demokrasi. Jurnal Ilmu Politik dan Pemerintahan, 5(2), 123–135.
Sutarno. (2011). Filsafat politik Aristoteles dan relevansinya dengan konteks demokrasi Indonesia. Jurnal Filsafat, 21(1), 45–60.
Penunlis: Muhammad Romli
