Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat, memiliki jumlah penduduk lebih dari 275 juta jiwa (World Bank, 2023). Posisi strategis ini semestinya menjadi modal kuat bagi Indonesia untuk bersaing di pentas global. Di tengah sorotan dunia terhadap peluang bonus demografi yang sedang berlangsung dan visi ambisius menuju Indonesia Emas 2045, kualitas sumber daya manusia menjadi kunci utama keberhasilan bangsa ini. Namun, di balik potensi besar tersebut, tersimpan ironi yang mengkhawatirkan: krisis literasi yang masih mendera di Indonesia.
Literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis. Ia merupakan fondasi utama dalam membangun peradaban maju dan beradab, meliputi kemampuan berpikir kritis, memahami informasi, dan mengolahnya menjadi pengetahuan yang bermakna. Sayangnya, Indonesia masih bergelut dengan rendahnya tingkat literasi masyarakat secara umum. Di tengah kemajuan teknologi dan banjir informasi digital, budaya membaca justru mengalami kemunduran serius. Ini bukan masalah akademik semata, melainkan krisis nasional yang mengancam kualitas sumber daya manusia Indonesia ke depan.
Potret nyata literasi Indonesia terlihat dalam hasil survei internasional. Berdasarkan laporan Program for International Student Assessment (PISA) 2018 dari OECD, Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara dalam kemampuan membaca, dengan skor rata-rata hanya 371 jauh di bawah rata-rata negara-negara OECD yang mencapai 487. Fakta ini diperkuat oleh riset UNESCO yang menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,001, artinya hanya satu dari seribu orang yang benar-benar memiliki minat baca serius. Ini bukan sekadar angka, melainkan gambaran nyata tentang betapa rapuhnya budaya literasi di negeri ini.
Sebagaimana diingatkan Mahatma Gandhi, “Jika kamu ingin menghancurkan suatu bangsa dan peradaban, hancurkan dulu literasinya, hancurkan dulu budayanya.” Kutipan ini menggarisbawahi bahwa literasi bukan hanya aktivitas individual, tetapi fondasi keberlangsungan sebuah bangsa. Jika Indonesia gagal meningkatkan literasi, maka masa depan bangsa ini pun sedang terancam runtuh perlahan.
Banyak faktor menjadi penyebab rendahnya literasi di Indonesia. Pertama, keterbatasan akses terhadap bahan bacaan berkualitas masih menjadi kendala, terutama di wilayah terpencil. Data dari perpustakaan nasional (2023) menunjukkan bahwa hanya sekitar 34% desa di Indonesia yang memiliki taman bacaan masyarakat. Kedua, budaya sosial kita belum menganggap membaca sebagai kebiasaan sehari-hari; anak-anak lebih akrab dengan video singkat di TikTok daripada membaca buku. Ketiga, kurikulum pendidikan yang masih berorientasi pada hafalan dan nilai ujian, bukan pengembangan kemampuan berpikir kritis lewat bacaan yang mendalam. Keempat, literasi digital yang belum memadai menyebabkan masyarakat sulit menyaring informasi di tengah banjir konten digital, yang justru memperparah penyebaran hoaks dan informasi menyesatkan.
Dampak rendahnya literasi sangat luas dan serius. Masyarakat yang lemah literasi rentan percaya pada informasi palsu, terjebak dalam fanatisme sempit, dan kesulitan membedakan opini dan fakta. Akibatnya, kualitas demokrasi menurun, dan masyarakat menjadi pasif serta kurang kritis terhadap kebijakan publik. Di bidang ekonomi, hal ini juga memengaruhi produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia di kancah global. Dalam jangka panjang, rendahnya literasi akan menghambat pembangunan manusia unggul yang seharusnya menjadi pondasi dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Tokoh cendekiawan Indonesia, Nurcholish Madjid, pernah menegaskan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang membaca sejarah, menulis masa depan, dan berpikir hari ini.” Pesan ini menunjukkan bahwa literasi bukan hanya membaca buku, tetapi juga memahami masa lalu, berpikir rasional di masa kini, dan merancang masa depan dengan cerdas. Literasi adalah alat pembebasan dari belenggu ketidaktahuan.
Meski situasi literasi di Indonesia mengkhawatirkan, harapan belum hilang. Di berbagai daerah, gerakan literasi mulai tumbuh melalui komunitas, sekolah, dan inisiatif pribadi. Pemerintah pun telah menginisiasi gerakan literasi nasional guna mendorong budaya membaca di lingkungan sekolah. Namun, program-program ini masih perlu penguatan, evaluasi, dan pendampingan yang konsisten. Beberapa solusi praktis meliputi revitalisasi perpustakaan daerah, pembentukan komunitas baca di tingkat terkecilpun seperti RT/RW, integrasi literasi digital dalam kurikulum, serta pelatihan literasi bagi guru dan orang tua.
Penanganan krisis literasi bukanlah tanggung jawab satu pihak saja. Kesadaran kolektif dari semua elemen negara, institusi pendidikan, keluarga, media, dan masyarakat sipil mutlak diperlukan dalam upaya penanganan ini. Literasi harus menjadi gerakan budaya yang hidup di tengah masyarakat, bukan sekadar slogan pemerintah. Membaca perlu diposisikan sebagai aktivitas yang keren, membanggakan, dan membuka cakrawala berpikir.
Sebagai penutup, literasi bukan hanya soal seberapa banyak buku yang dibaca, tetapi kemampuan seseorang untuk berpikir, menganalisis, dan mengambil keputusan cerdas. Indonesia memang belum gagal total membangun budaya literasi, tapi jika kita terus acuh, kegagalan itu tinggal menunggu waktu. Saatnya menjadikan literasi prioritas utama, bukan formalitas belaka. Karena masa depan bangsa ini bergantung pada sejauh mana rakyatnya melek huruf, melek makna, dan melek arah terlebih bila kita ingin menyongsong Indonesia Emas 2045 bukan sekadar jargon, tetapi kenyataan.
Tulisan ini juga di publis dalam platfrom media milik penulis seperti blog dan kompasiana.
Oleh: Muhammad Romli
