Dalam panggung sejarah peradaban, politik selalu menjadi ruang kontestasi antara kebenaran dan kepentingan, antara suara rakyat dan ambisi penguasa. Di antara dinamika tersebut, muncul satu sosok dari Romawi Kuno yang menjadikan kekuatan kata sebagai pilar perlawanan dan kebijaksanaan: Marcus Tullius Cicero. Ia bukan sekadar orator, melainkan arsitek moral bagi retorika politik. Dalam dirinya menyatu kemampuan filosofis, kepekaan moral, dan kecakapan retoris yang menjadikannya salah satu figur paling abadi dalam diskursus politik dan hukum.
Cicero menyadari bahwa dalam dunia politik, kebenaran tidak cukup hanya diketahui; ia harus dikomunikasikan dengan efektif. Keadilan tidak akan menampakkan wajahnya tanpa ada suara yang memperjuangkannya. Di sinilah seni persuasi memainkan peran vital. Bagi Cicero, persuasi bukanlah manipulasi, bukan pula sekadar permainan kata untuk meninabobokan publik. Persuasi adalah alat untuk membangkitkan kesadaran kolektif, menyentuh nurani publik, dan menggugah pemimpin agar bertindak berdasarkan kebijaksanaan dan bukan sekadar kalkulasi politik.
Dalam karya besarnya, De Oratore (55 SM), Cicero mengembangkan retorika sebagai gabungan antara kebijaksanaan, seni bicara, dan etika. Ia menegaskan bahwa seorang orator yang baik harus juga seorang filsuf. Bagi Cicero, seorang pemimpin yang piawai berbicara tetapi miskin kebijaksanaan ibarat pedang tanpa arah tajam, tetapi mudah menyesatkan. Retorika, menurutnya, bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan seni yang berakar pada pemahaman mendalam akan keadilan dan kebenaran.
Cicero merumuskan bahwa retorika memiliki tiga fungsi utama. Pertama, docere atau mengajar, yaitu kemampuan untuk menyampaikan fakta dan logika dengan kejelasan yang tak terbantahkan. Kedua, movere atau menggerakkan, yakni kekuatan untuk menyentuh dan menggugah emosi pendengar, karena manusia tidak hidup hanya dari logika, tetapi juga dari rasa. Ketiga, delectare atau menghibur, yaitu menjaga perhatian audiens dengan gaya bahasa yang memikat. Ketiga unsur ini harus berjalan harmonis. Tanpa keseimbangan di antara ketiganya, retorika akan berubah menjadi manipulasi kosong cangkang indah tanpa isi.
Retorika dalam pandangan Cicero adalah bentuk tertinggi dari seni politik. Ia bukan hanya teknik berbicara, tetapi seni membimbing jiwa manusia menuju kebajikan. Dalam pidato-pidatonya, Cicero tidak hanya berupaya meyakinkan, tetapi juga mendidik dan menyentuh hati. Dengan elegansi kata dan ketajaman logika, ia menanamkan nilai-nilai republik, memperingatkan bahaya tirani, dan menggugah semangat kewargaan yang luhur.
Dalam realitas politik kontemporer yang penuh kebisingan dan polarisasi, ajaran Cicero terasa seperti oase di tengah gurun retorika kosong. Kita hidup dalam zaman di mana politik sering direduksi menjadi strategi elektoral, di mana retorika tidak lagi membimbing akal sehat, tetapi justru membius akal sehat. Cicero mengingatkan bahwa retorika yang tidak dibarengi etika hanya akan melahirkan tirani yang dibungkus janji manis. Dan demokrasi, dalam kondisi seperti itu, akan berubah dari ruang deliberatif menjadi panggung sandiwara.
Cicero sendiri adalah bukti nyata bahwa kata-kata bisa lebih tajam dari pedang. Dalam pidato-pidatonya yang monumental, seperti Catilinarian Orations, ia membongkar kebusukan politik dengan keberanian luar biasa. Ia menyerang korupsi, menantang pengkhianat republik, dan mempertahankan nilai-nilai konstitusional ketika banyak orang memilih diam demi keselamatan pribadi. Dalam hidup dan matinya, Cicero menunjukkan bahwa menjadi orator berarti bersedia menanggung risiko demi memperjuangkan moral publik.
Bagi Cicero, keadilan adalah roh dari hukum dan demokrasi adalah wadah terbaik untuk mewujudkan keadilan tersebut. Namun demokrasi bukanlah sistem yang dapat bertahan tanpa fondasi diskursus yang kuat. Tanpa kemampuan untuk berdialog, mendebat, dan meyakinkan dengan argumentasi yang jujur dan bermoral, demokrasi akan tumbang oleh retorika kosong para demagog.
Seni persuasi menurut Cicero tidak hanya bertujuan memenangkan perdebatan, melainkan menciptakan konsensus berdasarkan akal dan hati. Persuasi dalam politik harus mampu membangun jembatan antar pandangan, bukan sekadar meneguhkan perbedaan. Dalam konteks Indonesia, di mana pluralitas adalah kenyataan tak terhindarkan, retorika Cicero menawarkan pelajaran penting: bahwa politik yang sehat harus ditopang oleh diskursus yang sehat pula bukan sekadar serangkaian slogan kosong yang diproduksi untuk konsumsi pemilu.
Lebih dari dua ribu tahun telah berlalu, tetapi jejak Cicero tetap relevan. Ketika masyarakat terbelah oleh informasi palsu, propaganda digital, dan retorika instan, dunia membutuhkan kembali kebijaksanaan klasik yang mengutamakan integritas dalam berbicara dan tanggung jawab dalam menyampaikan. Dalam dunia seperti itu, orator bukan hanya pembicara, tetapi penjaga nalar publik. Ia tidak hanya memengaruhi, tetapi mencerahkan. Ia tidak hanya memikat, tetapi menggugah dan menuntun.
Cicero mengajarkan bahwa di tangan yang tepat, kata-kata bukan sekadar getaran udara, melainkan roh perubahan. Bahwa retorika, jika dibingkai dengan kebijaksanaan dan keadilan, mampu menyelamatkan republik dari keruntuhan. Bahwa persuasi bukanlah seni membodohi, melainkan seni membebaskan membebaskan dari kebodohan, dari penindasan, dari politik yang kehilangan jiwa.
Maka dalam setiap kata yang terucap di ruang sidang, di podium politik, di panggung publik hendaknya kita bertanya: apakah kata-kata ini mengangkat martabat demokrasi? Apakah ia mencerminkan keberanian seperti Cicero? Apakah ia berakar pada keadilan? Bila tidak, maka kata itu hanya gema kosong. Namun jika iya, maka kata itu adalah obor yang akan terus menyala, menerangi jalan menuju masyarakat yang lebih adil, lebih rasional, dan lebih manusiawi.
Cicero telah tiada, namun suaranya tidak pernah benar-benar hilang. Ia hidup dalam setiap pidato yang membela kebenaran, dalam setiap argumen yang membongkar ketidakadilan, dan dalam setiap perjuangan yang menolak tunduk pada tirani. Retorika politik, dalam pengertian tertingginya, adalah warisan abadi Cicero warisan yang menuntut tidak hanya kecakapan berkata, tetapi juga keberanian untuk berdiri di sisi yang benar.
Tulisan ini juga diterbitkan di platform media penulis seperti blog dan kompasiana.
Daftar Rujukan
May, James M. (Penerjemah). How to Win an Argument: An Ancient Guide to the Art of Persuasion (Kumpulan tulisan Cicero). Princeton University Press, 2016.
Universitas STEKOM Semarang. “Cicero.” Ensiklopedia STEKOM, 2008.\“RETORIKA: Jurnal Kajian Komunikasi dan Penyiaran Islam.” Volume 2, No. 1, Jurnal UIAD, 2020.
Cangara, Hafied. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. Pt Rajagrafindo Persada, 2009.
Ispandriarno, Lukas S. Media dan Politik: Sikap Pers terhadap Pemerintahan Koalisi di Indonesia. IKAPI DKI Jakarta, 2014.
Soyomuki, Nurani. Komunikasi Politik. Intrans Publishing, 2013.
Oleh: Muhammad Romli
