Minggu, November 30, 2025
Image Slider

Gramsci dan Kematian Perlawanan: Mengapa Hegemoni Membunuh Oposisi Sebelum Ia Lahir?

Di dunia di mana kebebasan dielu-elukan, perlawanan justru dimakamkan bahkan sebelum sempat menarik napas pertamanya. Antonio Gramsci, pemikir Marxis asal Italia, menyebutnya dengan istilah yang tajam: hegemoni budaya. Sebuah bentuk kekuasaan yang tidak membunuh lewat peluru, melainkan dengan membajak kesadaran. Ia menulis dari balik jeruji fasisme, namun gagasan-gagasannya justru melampaui ruang penjara menembus dekade, menusuk sistem yang selama ini kita anggap “normal”.

Apa itu hegemoni menurut Gramsci? Ini bukan soal tank dan senjata, melainkan tentang bagaimana nilai-nilai penguasa menjadi nilai-nilai kita sendiri. Ketika masyarakat mulai menganggap ketimpangan sebagai sesuatu yang alamiah, ketidakadilan sebagai harga dari stabilitas, dan eksploitasi sebagai bentuk “kemajuan” di situlah hegemoni bekerja paling sempurna. Kita tidak dipaksa diam, kita hanya dibujuk untuk percaya bahwa tidak ada yang perlu dilawan.

Lihatlah bagaimana kapitalisme hari ini bertengger dengan nyaman di atas konsensus massal. Kita tidak hanya menerima sistem ini, kita membelanya. Buruh yang menolak upah layak karena takut “mengganggu iklim investasi”; mahasiswa yang mencibir ide sosialisme sebagai utopia murahan; masyarakat yang lebih percaya pada influencer ketimbang akademisi semua adalah bukti bahwa hegemoni telah menyusup ke jantung nalar kolektif kita.

Ironisnya, media, sekolah, agama, bahkan seni, bukan lagi ruang pembebasan. Mereka justru menjadi saluran di mana ide dominan dituangkan, dikemas rapi, dan disajikan sebagai satu-satunya kebenaran. Dalam kata-kata Gramsci yang paling menusuk: “Penjara pikiran lebih kuat daripada penjara besi.” Kita dibelenggu oleh keyakinan-keyakinan yang tidak pernah kita pilih sendiri, tapi kita peluk erat seolah itu warisan luhur.

Inilah mengapa perlawanan hari ini terasa tumpul, bahkan sebelum digerakkan. Setiap ide alternatif dikucilkan dari ruang wacana. Sosialisme dianggap kuno. Keadilan distributif disebut membahayakan stabilitas. Gerakan radikal dilemahkan melalui kooptasi: feminisme dikomersialisasi, lingkungan hidup dijadikan branding korporasi, dan aktivisme diseret masuk ke dunia kapital sebagai konten. Perlawanan diubah menjadi produk, bukan proyek pembebasan.

Lalu datang media sosial yang katanya membebaskan, tapi nyatanya memperdalam jerat hegemoni. Algoritma menyuapi kita dengan kenyamanan, bukan kesadaran. Kita merasa berteriak, padahal hanya bergema di ruang gema yang sudah disusun untuk tidak menyentuh inti masalah. Kita merasa aktif, padahal hanya menjadi angka dalam statistik iklan.

Namun Gramsci tidak menyerah. Di tengah pekatnya dominasi, ia menggagas strategi war of position perlawanan jangka panjang melalui perebutan institusi budaya. Bukan revolusi berdarah, tapi infiltrasi kesadaran. Perlawanan bukan sekadar turun ke jalan, tapi menanam ide-ide baru di sekolah, di rumah ibadah, di ruang seni, dan di komunitas akar rumput. Ia percaya pada intelektual organik bukan mereka yang bergelar, tapi mereka yang berpihak. Mereka yang membangkitkan kesadaran, bukan hanya menambah informasi.

Tentu, kita harus jujur. Hegemoni memang licin, fleksibel, dan sangat adaptif. Tapi tidak absolut. Sejarah menunjukkan bahwa krisis baik ekonomi, politik, maupun ekologis sering membuka celah bagi imajinasi politik baru. Krisis finansial 2008 melahirkan Occupy Wall Street. Pandemi COVID-19 mengguncang kepercayaan terhadap sistem kesehatan dan ekonomi global. Celah itu kecil, tapi cukup untuk menanam bibit kesadaran.

Jadi, jika benar bahwa perlawanan bisa mati sebelum lahir, maka tugas kita hari ini bukan sekadar melawan tetapi menghidupkan kembali gagasan tentang kemungkinan perlawanan itu sendiri. Kita tidak cukup hanya kritis, kita harus kreatif. Tidak cukup hanya marah, kita harus membangun. Media alternatif, kurikulum tandingan, literasi politik, dan solidaritas lintas isu bukanlah aksesori gerakan, melainkan fondasi.

Gramsci tidak pernah mengajarkan kita untuk menunggu perubahan dari atas. Ia meminta kita merajut kekuatan dari bawah, pelan tapi pasti, di lorong-lorong sunyi tempat benih-benih perlawanan masih bisa tumbuh. Sebab dalam dunia di mana melawan dianggap bodoh, bertanya adalah bentuk pertama dari keberanian.

Tulisan ini juga diterbitkan di platform media penulis seperti blog dan kompasiana.

Oleh: Muhammad Romli

Terkini

PilihanImaba

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini