Rabu, November 26, 2025
Image Slider

Raja Ampat dan Ujian Etika Bangsa di Era Transisi Energi

Raja Ampat, gugusan kepulauan yang terletak di jantung Papua Barat, telah lama dikenal sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia. Julukan “Amazon of the Oceans” bukan sekadar hiperbola ia mencerminkan fakta ilmiah yang mencengangkan. Berdasarkan data dari Conservation International (2023), wilayah ini merupakan rumah bagi 75% spesies terumbu karang dunia, atau sekitar 1.606 jenis dari total 2.100 spesies global. Tidak hanya itu, terdapat pula 1.427 spesies ikan, termasuk hiu karang dan pari manta, serta lebih dari 700 jenis moluska. Bahkan, lima dari tujuh spesies penyu laut dunia hidup di perairan Raja Ampat.

Namun, di balik pesona alam yang menakjubkan, Raja Ampat kini berdiri di ambang krisis. Ancaman datang dari dua arah utama: ekspansi tambang nikel dan pertumbuhan pariwisata massal yang tidak dikendalikan dengan baik. Keduanya menguji kemampuan negara dalam memilih arah pembangunan: apakah kita bersedia menjaga surga terakhir ini, atau justru menyerahkannya pada kepentingan ekonomi jangka pendek?

Pertambangan nikel, yang disebut-sebut sebagai tulang punggung transisi energi dunia, ternyata menjadi mimpi buruk baru bagi masyarakat dan lingkungan Raja Ampat. Pulau Gag dan Waigeo, dua pulau utama di kawasan ini, telah menjadi lokasi eksplorasi dan aktivitas tambang. Menurut laporan Greenpeace Indonesia (2023), setidaknya 500 hektar hutan primer telah hilang akibat operasi pertambangan. Ironisnya, empat pulau kecil Gag, Kawe, Manuran, dan Batanta telah masuk ke dalam konsesi pertambangan, padahal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 secara tegas melarang kegiatan tambang di pulau kecil dengan ekosistem rentan.

Dampak dari aktivitas ini bukan hanya bersifat ekologis, tetapi juga berimbas langsung pada ekonomi kelautan nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam kajiannya tahun 2022 menyatakan bahwa kerusakan terumbu karang di Raja Ampat berpotensi mengancam sekitar 60% populasi ikan karang Indonesia. Jika dihitung secara ekonomi, potensi kerugian bisa mencapai Rp35 triliun per tahun angka yang jauh melampaui manfaat jangka pendek dari hasil tambang nikel di wilayah ini.

Sementara itu, promosi Raja Ampat sebagai bagian dari program “10 Bali Baru” pemerintah pusat memang telah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan secara signifikan. Data Dinas Pariwisata Raja Ampat mencatat bahwa jumlah wisatawan meningkat tajam dari 15.000 orang pada 2015 menjadi 40.000 orang pada 2023. Sayangnya, peningkatan ini tidak diikuti oleh tata kelola wisata yang berkelanjutan. Aktivitas kapal pesiar yang menjatuhkan jangkar sembarangan dan praktik snorkeling yang tidak bertanggung jawab telah merusak terumbu karang dan ekosistem laut lainnya. WWF Indonesia (2022) mencatat kerugian akibat kerusakan karang ini mencapai sekitar Rp200 miliar per tahun.

Sebagai perbandingan, kita bisa melihat Palawan di Filipina sebagai contoh sukses dalam mengelola ekowisata. Kawasan tersebut mampu menghasilkan pendapatan sebesar US$300 juta per tahun dari sektor pariwisata berwawasan lingkungan. Yang membedakan adalah komitmen mereka terhadap konservasi: 80% wilayah daratan Palawan telah ditetapkan sebagai cagar biosfer UNESCO, menjadikannya sebagai contoh nyata bahwa ekonomi dan ekologi bisa berjalan beriringan jika dikelola dengan visi jangka panjang.

Yang paling menyedihkan dari semua ini adalah nasib masyarakat adat yang selama berabad-abad menjadi penjaga alam Raja Ampat. Suku Maya dan Matbat, sebagai pemilik hak ulayat wilayah ini, justru menjadi pihak yang paling terpinggirkan. Berdasarkan laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN, 2023), sekitar 60% masyarakat adat kehilangan akses ke laut akibat pembangunan resor dan aktivitas wisata komersial. Tambang pun tidak membawa berkah: menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM, 2022), hanya sekitar 5% dari keuntungan sektor tambang yang kembali ke masyarakat lokal. Selebihnya mengalir keluar, meninggalkan kerusakan dan konflik sosial di belakang.

Padahal, konstitusi kita secara tegas menjamin hak masyarakat adat. Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, di Raja Ampat, konstitusi tampaknya berhenti pada teks. Di lapangan, masyarakat adat justru menjadi korban dari pembangunan yang tidak partisipatif.

Raja Ampat adalah ujian moral bagi bangsa ini. Kita dihadapkan pada pilihan strategis: apakah akan terus mengejar pertumbuhan ekonomi yang merusak, ataukah kita mampu menegakkan prinsip keadilan ekologis dan keberlanjutan? Jawabannya tidak mudah, tetapi jelas. Jika kita membiarkan Raja Ampat dihancurkan demi tambang nikel dan pariwisata tanpa kendali, maka kita bukan hanya mengorbankan satu wilayah kita sedang menggadaikan masa depan anak cucu kita.

Sebaliknya, jika kita mampu melindungi dan mengelola Raja Ampat dengan bijak, kawasan ini bisa menjadi model pembangunan berkelanjutan kelas dunia. Sebuah tempat di mana ekonomi lokal tumbuh tanpa harus merusak lingkungan; di mana masyarakat adat menjadi pemimpin, bukan penonton; dan di mana kekayaan alam dilestarikan, bukan dikomersialisasi habis-habisan.

Dalam konteks ini, ada beberapa langkah konkret yang bisa segera diambil pemerintah. Pertama, pemerintah pusat dan daerah harus segera menetapkan moratorium pertambangan di seluruh pulau kecil di Raja Ampat, sesuai dengan amanat UU No. 1/2014. Kedua, perlu ada kuota kunjungan wisatawan serta regulasi ketat terhadap aktivitas kapal pesiar dan operator wisata. Ketiga, pengakuan dan penguatan hak masyarakat adat dalam pengelolaan wilayah laut dan darat harus menjadi prioritas, termasuk melalui pengakuan hukum adat secara formal dan penyusunan skema bagi hasil yang adil.

Sebagaimana dikatakan dalam sebuah pernyataan tajam: “Menjual Raja Ampat untuk nikel sama dengan menggadaikan warisan anak cucu demi keuntungan sesaat.” Pernyataan ini bukan hanya peringatan, melainkan seruan untuk bertindak. Raja Ampat bukan hanya milik Papua atau Indonesia. Ia adalah warisan dunia, dan kita semua bertanggung jawab untuk menjaganya.

Tulisan ini juga diterbitkan di platform media penulis seperti blog dan kompasiana.

Oleh: Muhammad Romli

Terkini

PilihanImaba

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini