Namaku Bunga Puspita Sari dan ini adalah kisahku. Tentang aku yang gagal menjadi kakak yang baik bagi adiknya, tentang aku yang kalah dengan ego sendiri dan tentang aku yang tidak bisa menuruti permintaan terakhir bunda.
“Bunda berpesan satu hal padamu, jagalah Melati Bunga! Setelah ini hanya kamu yang dia miliki. Terlepas dari sikapnya yang kekanakan kau harus tetap menyayanginya dan membimbingnya.” Tutur Bunda dengan suara lirih.
“Tidak bun! Bunda pasti bisa sembuh dan kita akan kembali berkumpul bersama” kataku sembari menangis pilu.
“Bunda merasa hidup bunda tidak lama lagi sayang. Bunda hanya ingin kamu dan Melati tidak berseteru lagi dan bisa saling menyayangi”. tutur terakhir bunda selepas itu diiringi dengan pejaman matanya untuk selamanya.
“Bunda!!!!!!! Bangun bunda!!!!! Jangan tinggalkan Bunga seperti ini! ” teriakku sembari mengguncang tubuh Bunda agar ia bangun. Nafasku tercekat melihat Bunda sudah tidak bernyawa lagi dan ini adalah kenyataan. Tuhan! Apa kesalahanku sehingga kau mengambil bundaku dan meninggalkanku sendiri disini. Batinku menangis pilu.
Lima hari berlalu, aku dan melati masih dalam suasana berkabung sebab ditinggalkan bunda. tidak ada percakapan di antara kami selama beberapa hari terakhir. Kami memang tidak dekat seperti kakak beradik pada umumnya. Setiap kami berkomunikasi nantinya hanya akan berakhir pertengkaran.
“Kepergian bunda pasti karena kakak tidak becus mengurusnya” ucap Melati.
“Apa maksudmu Melati!” teriakku saat mendengar ucapan Melati.
“Itu benar kan kak! Jika kakak mengurus bunda dengan baik, sekarang bunda pasti masih hidup” balasnya dengan teriak pula.
“Sekarang kakak bertanya padamu! kemana kamu saat bunda dirawat di rumah sakit?! Kamu hanya keluyuran entah kemana. Kamu tidak peduli pada bunda dan sekarang menyalahkan kakak? Kamu bahkan tidak ada di saat terakhirnya Melati!!” teriakku pada Melati dengan nafas tersengal.
“Untuk apa aku disana? Ia tidak menyayangiku! Baginya anaknya hanya dirimu dan aku sudah tiada untuknya! Mungkin ia juga tidak peduli aku hidup ataupun sudah mati!” Spontan aku menampar Melati dengan keras kala mendengar ucapannya.
“Aku membencimu kak Bunga! Aku sangat membencimu!” ucapnya sembari meneteskan air mata lalu pergi dari hadapanku.
Aku tersadar telah melakukan kesalahan dan tidak seharusnya aku melakukan hal itu.
“Tunggu! Maafkan kakak Melati!!” Ucapku mencoba mengejarnya namun gagal sebab ia sudah melenggang dari rumah menaiki motornya.
Bunda! Maafkan aku sebab kalah dengan emosiku dalam menghadapi Melati. Ucapku dalam hati berharap bunda bisa mendengarnya.
Satu minggu berlalu, tidak ada kabar apapun dari Melati. Aku cemas sebab tidak biasanya ia pergi begitu lama.
“Melati!” ucapku sembari berlarian menuju halaman rumah kala melihatnya.
“Kakak..” lirihnya dengan wajah yang pucat.
“Ayo masuk dulu!” Ajakku padanya.
“Maafkan aku kak Bunga! Aku mohon maafkan aku” ucapnya berderai air mata. Aku tersenyum kala mendengarnya dan langsung memeluknya. Ia semakin terisak dalam pelukanku dan aku mencoba menenangkannya.
“Tidak apa! Kakak senang akhirnya kau menyadari bahwa aku dan bunda sangat menyayangimu” ucapku.
“Sebenarnya bukan itu maksudku, ada hal yang ingin aku bicarakan” dahiku mengerut kala mendengarnya.
“Aku…aku hamil kak” bak disambar petir aku terkejut kala mendengarnya. Hatiku tercabik-cabik kala mendengar penuturan Melati.
“Ahhh!!” meringis Melati kala diriku menamparnya sekali lagi.
“Bagaimana kau bisa semenjijikkan ini Melati! Apa kau tidak memikirkan masa depanmu sama sekali! Sebenarnya apa yang ada dalam otakmu sampai kamu melakukan itu! Katakan!” teriakku sembari mengguncang tubuhnya. Ia hanya terus menangis tanpa berbicara sedikitpun.
“Enyah dari hadapanku Melati! Pergilah!” teriakku sembari berderai air mata. Melati pun berlari menuju ke kamarnya.
Bunda! Maafkan aku! Aku telah kalah bunda! Aku tidak bisa menjaganya. racauku dalam hati. Sekian lama aku menangis lalu aku pun teringat sesuatu.
Bunda hanya ingin tidak ada perseteruan lagi antara dirimu dan Melati dan kalian harus saling menyayangi. Ucapan bunda kembali terekam di benakku.
Tuhan! Harusnya tadi aku tidak seperti itu padanya. Melati pasti terguncang denga apa yang menimpanya dan aku harusnya ada di sisinya untuk mendukungnya dan mencari jalan keluar. Aku akan menemuinya sekarang. Monologku sembari melangkah ke kamarnya.
“ Melati! Kakak ingin bicara padamu!” ucapku sembari mengetuk pintu kamarnya.
“Maafkan kakak Melati! Kakak mohon!” Hening. Tidak ada jawaban dari dalam.
Aku mencoba membuka knop pintu yang ternyata tidak dikunci.
“Melati!!!! Tidak Melati!!! Tidak!!!” teriakku kala melihat Melati telah tergantung di sudut kamarnya. Tubuhku lemas seketika kala melihat ia sudah tidak bernyawa lagi. Buru-buru aku mengambil kursi untuk menyelamatkannya namun ternyata aku terlambat. Melati telah tiada untuk selamanya. Aku berteriak dan meraung sembari mengguncang tubuhnya yang sudah tidak bernyawa.
Tuhan! Aku telah kalah dengan egoku sendiri. Aku gagal untuk mendidik dan menjaganya. Maafkan aku bunda! Sebab tidak bisa memenuhi ucapanmu. Maafkan kakak Melati! Seharusnya tadi kakak mendukungmu. Kakak telah kalah, kakak telah gagal dan kakak adalah kakak terjahat yang pernah ada. Maafkan aku.
