Rabu, Desember 3, 2025
Image Slider

Benih Kebangsaan: Peran Organisasi dalam Lahirnya Negara Indonesia

Oleh: Muhammad Romli

Ketika kita menyebut kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, seringkali yang terbayang adalah satu momen monumental: proklamasi yang dibacakan oleh Sukarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Namun di balik satu hari itu, terdapat serangkaian proses panjang yang dibangun selama puluhan tahun dimulai dari lahirnya organisasi-organisasi pergerakan nasional. Tanpa organisasi, cita-cita kemerdekaan mungkin hanya akan berdiam di kepala para pemikir. Tapi berkat mereka, gagasan itu menjelma menjadi gerakan, menjadi kekuatan sosial-politik, dan akhirnya menjadi negara.

Pada awal abad ke-20, kehidupan masyarakat Hindia Belanda masih terpecah-pecah dalam komunitas-komunitas lokal. Identitas orang Jawa, Sumatera, Ambon, dan lainnya masih jauh lebih kuat dibanding satu identitas kolektif sebagai “Indonesia”. Namun kolonialisme secara paradoks memberi jalan bagi integrasi ini. Penindasan yang sistematis justru menyatukan penderitaan banyak kelompok etnis. Dalam bahasa sosiolog Emile Durkheim, penderitaan bersama dapat menciptakan “solidaritas mekanik” yang menjadi benih dari solidaritas organik: kesadaran kolektif bahwa mereka adalah bagian dari komunitas yang sama.

Di titik inilah organisasi seperti Budi Utomo, yang berdiri tahun 1908, memainkan peran penting. Meskipun pada awalnya elit dan bersifat kedaerahan, Budi Utomo menciptakan ruang dialog antar pemuda terpelajar untuk memikirkan masa depan bangsanya. Ia menjadi organisasi pertama yang memperkenalkan wacana “kebangsaan” di luar kerangka kerajaan atau kelompok etnis. Ini adalah titik mula tumbuhnya benih kebangsaan Indonesia

Dalam teori nation-building dari Karl Deutsch, suatu bangsa akan terbentuk bila masyarakat mampu saling berkomunikasi, terhubung, dan memiliki aspirasi bersama. Organisasi pergerakan adalah medium utama proses itu di Hindia Belanda. Sarekat Islam (SI), misalnya, mampu menghimpun puluhan ribu anggota dari berbagai latar belakang dengan satu tujuan: keadilan sosial dan kemandirian bangsa. SI bukan hanya organisasi keagamaan; ia menjadi kekuatan politik yang berani menantang kekuasaan kolonial dengan cara yang terstruktur.

Berbeda dengan gerakan bersenjata yang terisolasi, organisasi-organisasi ini bekerja lewat pendidikan, media, dan jaringan sosial. Mereka menciptakan sekolah, menerbitkan surat kabar, dan menyelenggarakan kongres—membangun apa yang disebut Benedict Anderson sebagai imagined community atau komunitas terbayang. Dalam komunitas ini, rakyat Hindia Belanda mulai membayangkan bahwa mereka bagian dari sesuatu yang lebih besar: Indonesia.

Samuel Huntington dalam teorinya tentang political development menyebut bahwa modernisasi suatu bangsa sering ditandai oleh munculnya elit terdidik yang kemudian menjadi pelopor perubahan politik. Di Indonesia, generasi muda yang mengenyam pendidikan kolonial baik di STOVIA, Rechtshool, maupun di Belanda mulai mengartikulasikan ide-ide nasionalisme dan keadilan sosial. Mereka bukan hanya memahami penderitaan rakyat, tapi juga memiliki strategi dan pengetahuan untuk mengorganisir perubahan.

Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda menjadi contoh paling mencolok. Organisasi ini tidak hanya menyuarakan kemerdekaan, tapi juga melibatkan diri dalam diskursus internasional, menjadikan isu Indonesia sebagai bagian dari perjuangan global melawan imperialisme. Tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan lainnya adalah produk dari organisasi semacam ini. Mereka tidak lahir dari ruang kosong, tetapi dari pembelajaran kolektif dan militansi ideologis yang diasah dalam ruang organisasi.

Momentum terbesar dari seluruh gerakan organisasi adalah Kongres Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Dalam momen itu, berbagai organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatera, dan Jong Ambon mengesampingkan identitas kedaerahan dan menyepakati satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. Ini bukan sekadar deklarasi simbolik, tetapi puncak dari proses integrasi sosial-politik yang dirancang bertahun-tahun oleh berbagai organisasi.

Sumpah Pemuda adalah titik balik. Ia menandai bahwa bangsa Indonesia bukan lagi sekadar wacana, melainkan identitas yang diakui secara luas oleh generasi muda. Organisasi, dalam hal ini, tidak hanya berfungsi sebagai alat mobilisasi, tapi juga sebagai pencetak konsensus nasional. Ia menyatukan ide, emosi, dan harapan dalam satu narasi besar: Indonesia merdeka.

Perjalanan organisasi tidak berhenti pada kesadaran kebangsaan. Ia bertransformasi menjadi kekuatan institusional yang melahirkan negara. Pembentukan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) adalah bukti konkret bagaimana organisasi menjadi lokus pembentukan negara. Dalam forum-forum inilah dasar negara dirancang, konstitusi dibahas, dan struktur pemerintahan dirumuskan.

Jika kita mengacu pada teori state-building, seperti yang dijelaskan oleh Charles Tilly, negara lahir dari kapasitas kolektif untuk mengorganisir kekuasaan secara terpusat dan sah. Organisasi-organisasi nasionalis memainkan peran kunci dalam menyediakan basis legitimasi itu. Mereka menjadi jembatan antara rakyat dan calon negara, antara ide dan sistem.

Salah satu warisan terbesar dari organisasi perjuangan adalah nilai-nilai pluralisme dan demokrasi. Dalam tubuh organisasi seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, hingga Partai Nasional Indonesia (PNI), perbedaan pandangan politik dan keagamaan tidak selalu menjadi hambatan. Justru, dalam ruang organisasi, perbedaan dikelola melalui musyawarah dan konsensus. Ini yang kemudian menjadi fondasi bagi sistem demokrasi Indonesia.

Teori consociational democracy dari Arend Lijphart menjelaskan bahwa negara-negara multietnis yang berhasil bertahan cenderung mengadopsi sistem konsensus, bukan mayoritarian. Indonesia sejak awal sudah memiliki kecenderungan ini, karena para pendiri bangsa terlatih dalam kultur organisasi yang terbiasa menghargai perbedaan dan mencari titik temu.

Organisasi pergerakan adalah benih yang menumbuhkan pohon besar bernama Indonesia. Mereka menyemai gagasan, menumbuhkan kesadaran, dan merawat semangat kolektif hingga cita-cita kemerdekaan dapat diraih. Tanpa organisasi, mungkin tidak ada ruang diskusi, tidak ada pemaduan visi, dan tidak ada fondasi institusional bagi terbentuknya negara. Indonesia bukan hanya lahir karena penderitaan, tapi karena rakyatnya mampu mengorganisir diri, menyatukan aspirasi, dan bertindak secara kolektif.

Dalam sejarah bangsa-bangsa, tidak banyak yang mampu melewati transisi dari jajahan ke negara merdeka dengan fondasi sosial sekuat Indonesia. Dan itu semua bermula dari satu hal: organisasi. Mereka adalah pelita di tengah gelap kolonialisme, yang perlahan menuntun bangsa ini menuju cahaya kemerdekaan.

Daftar Rujukan

Anderson, B. (2006). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (Revised ed.). London: Verso.

Boland, B. J. (1982). The Struggle of Islam in Modern Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff.

Deutsch, K. W. (1966). Nationalism and Social Communication: An Inquiry into the Foundations of Nationality (2nd ed.). Cambridge, MA: MIT Press.

Durkheim, E. (1984). The Division of Labour in Society. London: Macmillan.

Kartodirdjo, S. (1993). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.

Legge, J. D. (1988). Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A Study of the Indonesian Perhimpunan Indonesia, 1923–1928. Ithaca, NY: Cornell Modern Indonesia Project.

Lijphart, A. (1977). Democracy in Plural Societies: A Comparative Exploration. New Haven, CT: Yale University Press.

Noer, D. (1996). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES.

Notosusanto, N. (1979). Sumpah Pemuda: Suatu Studi tentang Perkembangan Pemikiran Nasionalisme Indonesia antara 1908–1928. Jakarta: Balai Pustaka.

Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Tilly, C. (1992). Coercion, Capital, and European States, AD 990–1992. Cambridge, MA: Blackwell.

Terkini

PilihanImaba

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini