Rabu, November 26, 2025
Image Slider

Dari Zaman Batu ke Negara Hukum: Evolusi Hukum dalam Membangun Peradaban

Oleh: Muhammad Romli

Dalam sejarah panjang umat manusia, hukum bukan sekadar kumpulan aturan yang ditulis di atas kertas atau diperdengarkan dalam ruang sidang. Ia adalah roh tak kasatmata yang mengatur, membatasi, dan membimbing arah peradaban sejak manusia pertama kali hidup berkelompok. Kita cenderung mengasosiasikan hukum dengan negara modern, padahal jejak hukum telah ada sejak zaman ketika manusia menggantungkan hidup pada kapak batu, api unggun, dan gua-gua. Pada titik itulah hukum lahir, bukan dari tinta konstitusi, tetapi dari kesepakatan sosial yang tak tertulis aturan purba yang menjadi perekat komunitas dan penjaga harmoni.

E. Adamson Hoebel, seorang antropolog hukum, pernah menyebut bahwa bahkan masyarakat primitif memiliki “law-ways” yang mengatur siapa boleh berburu di mana, bagaimana hasil buruan dibagi, dan apa konsekuensi melanggar tabu. Dalam masyarakat seperti ini, hukum berfungsi bukan sebagai alat represi, melainkan sebagai penjaga solidaritas sosial. Emile Durkheim, seorang sosiolog Prancis, menggambarkan fase ini sebagai “solidaritas mekanik,” yakni kesatuan masyarakat yang dibangun atas dasar kesamaan nilai dan norma. Artinya, bahkan sebelum hukum dikodifikasi, ia telah bekerja dalam bentuk kesadaran kolektif.

Namun peradaban tidak stagnan. Ketika manusia mulai menetap, membentuk kota, dan mengenal kepemimpinan yang lebih hirarkis, hukum pun bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih terstruktur. Di Mesopotamia, sekitar tahun 1754 SM, Raja Hammurabi menyusun kode hukum yang kini dikenal sebagai Code of Hammurabi. Ini bukan hanya dokumen hukum, tetapi juga simbol kekuasaan dan legitimasi ilahi. Di atas batu basalt setinggi dua meter, 282 pasal diukir dan dipajang untuk publik, menunjukkan bahwa hukum kini telah menjadi bagian dari sistem pemerintahan dan tidak lagi sebatas norma kesukuan. Max Weber, dalam kerangka teorinya tentang legitimasi kekuasaan, melihat hukum dalam konteks ini sebagai instrumen yang memberikan otoritas pada kekuasaan sebuah transisi penting dari kekuasaan tradisional ke kekuasaan legal-rasional.

Yunani dan Roma membawa hukum ke dimensi yang lebih rasional dan filosofis. Di Athena, ide “isonomia” atau kesetaraan di hadapan hukum mulai dibicarakan. Demokrasi lahir bukan hanya dari hak suara, tetapi dari kesetaraan perlakuan hukum terhadap semua warga polis. Roma kemudian menyusun “Law of the Twelve Tables” dan, di masa Kaisar Justinianus, “Corpus Juris Civilis” menjadi salah satu warisan hukum paling berpengaruh dalam sejarah dunia. Para juris Romawi seperti Gaius memperkenalkan klasifikasi hukum sipil, hukum antarbangsa, dan hukum kodrat gagasan yang masih menjadi dasar banyak sistem hukum modern. Dalam konteks ekonomi dan sosial, Douglas North menegaskan bahwa keberadaan institusi hukum yang stabil di Roma memungkinkan terciptanya pasar dan hubungan lintas wilayah yang efisien, menurunkan biaya transaksi, dan mendukung perluasan ekonomi.

Memasuki Abad Pertengahan, hukum kembali mengalami sakralisasi, namun kali ini dalam wujud hukum gereja atau hukum kanonik. Pengaruh agama mengatur setiap aspek kehidupan, dari perkawinan hingga pajak. Santo Thomas Aquinas memperkenalkan hirarki hukum: lex divina, lex naturalis, dan lex humana, di mana hukum manusia harus selaras dengan hukum Tuhan dan hukum alam. Di dunia Islam, konsep syariah berkembang sebagai produk ijtihad ulama yang meregulasi seluruh spektrum kehidupan, dari ibadah hingga muamalah. Historikus Marshall Hodgson mencatat bahwa sivilisasi Islam bertahan selama berabad-abad karena memiliki tradisi hukum yang kuat dan transnasional, yang menyatukan komunitas dari berbagai latar etnis dan geografi.

Renaisans dan masa Pencerahan membawa perubahan besar dalam cara manusia memahami hukum. Kedaulatan tidak lagi dianggap hak ilahi, melainkan produk kontrak sosial antara rakyat dan penguasa. John Locke menegaskan bahwa pemerintah hanya sah jika didirikan atas dasar persetujuan rakyat. Montesquieu menambahkan prinsip pemisahan kekuasaan sebagai mekanisme pengawasan dan keseimbangan. Bahkan Thomas Hobbes, yang mendukung negara kuat, tetap menyadari bahwa kekuasaan harus berasal dari kesepakatan rasional untuk menghindari kekacauan. Di masa ini pula hukum mulai dikodifikasikan dalam bentuk konstitusi tertulis, yang menjadi basis utama negara hukum modern. Lon Fuller, dalam abad ke-20, menyempurnakan gagasan ini dengan merumuskan delapan prinsip hukum yang baik antara lain kejelasan, konsistensi, dan keterbukaan sebagai bagian dari moralitas internal hukum.

Revolusi industri pada abad ke-19 memaksa hukum untuk kembali beradaptasi. Munculnya hubungan kerja kapitalistik, hak milik atas mesin dan modal, serta kelas buruh menciptakan kebutuhan baru: hukum harus mengatur dunia yang semakin kompleks. Jeremy Bentham dengan utilitarianismenya melihat hukum sebagai sarana untuk menciptakan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Hans Kelsen, kemudian, merumuskan teori hukum murni (Pure Theory of Law), menegaskan bahwa hukum harus dibedakan dari moral, agama, dan politik, serta harus berdiri sendiri sebagai norma yang tersusun dalam hirarki dari norma dasar (Grundnorm) hingga norma operasional.

Namun, ketidaksetaraan dan krisis sosial menunjukkan bahwa hukum yang hanya berfungsi sebagai alat legitimasi kekuasaan atau pengatur pasar tidak cukup. Lahirnya negara kesejahteraan (welfare state) memperluas fungsi hukum, dari sekadar menjaga ketertiban menjadi sarana redistribusi kesejahteraan dan perlindungan sosial. Hukum tidak lagi netral, melainkan berpihak pada yang lemah. Ini menandai evolusi baru hukum sebagai perangkat aktif untuk keadilan sosial.

Abad ke-20 menjadi titik balik dengan kelahiran Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), yang menandai fase globalisasi nilai-nilai hukum. Pascaperang dunia, konsep negara tidak bisa lagi menutup diri atas nama kedaulatan jika melakukan pelanggaran berat terhadap HAM. Lahirnya Mahkamah Pidana Internasional menunjukkan bahwa hukum tidak hanya mengikat secara nasional, tetapi juga internasional. Di tengah keragaman hukum adat, syariah, dan hukum positif, para pemikir seperti Sally Falk Moore mengembangkan konsep legal pluralism, yang menyadari bahwa hukum dalam masyarakat modern tidak monolitik, tetapi berlapis-lapis.

Kini, di era digital, kita menghadapi tantangan hukum yang sama sekali baru. Teknologi telah menciptakan dimensi baru di mana data, algoritma, dan kecerdasan buatan menjadi aktor hukum yang nyata. Lawrence Lessig menegaskan bahwa “code is law”—arsitektur digital dapat memaksa perilaku layaknya undang-undang. Smart contract, blockchain, dan sistem pemeringkatan sosial di beberapa negara memperlihatkan bagaimana pengaturan sosial bergerak ke ruang digital, terkadang tanpa campur tangan legislator. Dalam konteks ini, hukum harus mampu mengejar kecepatan inovasi teknologi sambil tetap menjaga hak dasar manusia. Inilah tantangan besar hukum kontemporer: bagaimana menjadi relevan tanpa kehilangan integritas.

Indonesia sendiri, sebagai negara yang mengakui dirinya sebagai negara hukum dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, masih berjuang membumikan prinsip itu ke dalam praktik. Hukum sering kali masih dianggap sebagai instrumen kekuasaan, bukan sarana keadilan. Banyak produk hukum yang tidak berpihak kepada rakyat karena lahir dari proses legislasi yang elitis dan minim partisipasi publik. Oleh karena itu, merefleksikan perjalanan sejarah hukum menjadi penting: agar kita tidak hanya mengulangi bentuk luar negara hukum, tetapi mengisi substansinya dengan nilai-nilai keadilan, keterbukaan, dan keberpihakan pada yang lemah.

Sejarah membuktikan bahwa setiap loncatan peradaban selalu ditandai dengan transformasi dalam sistem hukumnya. Dari gua prasejarah hingga server awan digital, hukum telah menjadi denyut nadi yang menjaga keteraturan, memberi arah, dan melindungi nilai kemanusiaan. Dan kini, di tengah kompleksitas zaman, tugas kita bukan sekadar menambah pasal atau mencetak lebih banyak sarjana hukum, tetapi memastikan bahwa hukum tetap menjadi instrumen keadilan, bukan jebakan kekuasaan. Karena seperti yang diajarkan sejarah: hukum yang membebaskan akan melahirkan peradaban yang bermartabat.

Daftar Rujukan

Blackstone, W. (2001). Commentaries on the laws of England (Vols. I–IV). Oxford: Oxford University Press.

Durkheim, É. (1984). The division of labour in society. London: Macmillan.

Hoebel, E. A. (1954). The law of primitive man: A study in comparative legal anthropology. New York: Atheneum.

Kansil, C. S. T., & Kansil, C. S. T. (2011). Sejarah hukum di Indonesia. Jakarta: Pustaka Pena.

Kelsen, H. (1967). Pure theory of law. Berkeley: University of California Press.

Lessig, L. (2006). Code: Version 2.0. New York: Basic Books.

Locke, J. (1988). Two treatises of government. Cambridge: Cambridge University Press.

Montesquieu, C. de S. (1989). The spirit of the laws. Cambridge: Cambridge University Press.

Noer, D. (1996). Gerakan modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES.

Oxford University Press. (2024). Sources of English legal history: Public law to 1750. Oxford: Oxford University Press.

Sjahdeini, S. R. (2021). Sejarah hukum Indonesia. Jakarta: Kencana/Prenada Media.

Sjahdeini, S. R. (2021). Sejarah hukum Indonesia: Seri sejarah hukum. Jakarta: Prenada Media.

Sumption, J. (2019). The rule of law. London: Profile Books.

Weber, M. (1978). Economy and society: An outline of interpretive sociology. Berkeley: University of California Press.

Terkini

PilihanImaba

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini