imabapamekasan.id : Guru bukan pelaku kejahatan yang harus dipidanakan. Mereka adalah penjaga moral generasi penerus bangsa yang seharusnya kita hormati dan banggakan. Jika setiap teguran diancam dan dipidanakan, maka yang akan lahir adalah ketakutan, bukan pendidikan. Maka, keadilan sejati adalah ketika hukum mampu memahami niat baik setiap tindakan bahwa di balik cubitan seorang guru, ada cinta yang besar terhadap anak bangsa dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan.
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia seringkali dihebohkan oleh berbagai kasus guru yang dipidanakan karena dianggap melakukan kekerasan terhadap anak didiknnya. Padahal, dalam banyak kasus, tindakan itu dilakukan dalam konteks mendisiplinkan siswa agar belajar menghormati aturan dan berperilaku baik. Fenomena ini menimbulkan perdebatan panjang antara dua pandangan, satu pihak menilai tindakan guru melanggar hak anak, sementara pihak lain menganggapnya sebagai bagian dari pendidikan karakter yang kini mulai ditinggalkan.
Guru sejatinya bukan hanya pengajar, tetapi juga pendidik dan pembimbing moral. Dalam tugasnya, guru sering dihadapkan pada berbagai karakter siswa, ada yang patuh tapi ada pula yang sulit diatur. Kadang, teguran keras, hukuman ringan, atau disiplin tegas menjadi cara terakhir agar siswa menyadari kesalahannya. Namun, di era digital dan serba sensitif ini, tindakan yang dulu dianggap wajar kini sering dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Masalahnya, batas antara mendisiplinkan dan melanggar hak anak menjadi semakin kabur. Ketika guru memberi sanksi, misalnya menyuruh siswa membersihkan kelas karena terlambat atau menegur keras karena berkelahi, tindakan itu bisa direkam, disebarkan, dan kemudian disalahartikan oleh publik. Akibatnya, guru yang berniat mendidik justru terancam pidana, sementara rasa hormat siswa terhadap guru semakin luntur.
Ini merupakan tantangan besar dalam dunia pendidikan kita, bagaimana menjaga keseimbangan antara hak anak dan kewibawaan guru. Guru perlu memahami batas hukum dalam mendisiplinkan siswa, namun masyarakat juga harus memberi ruang bagi guru untuk mendidik dengan tegas tanpa takut dipenjara. Jika setiap tindakan disiplin dianggap kekerasan, maka yang akan lahir adalah generasi manja yang tidak terbiasa menerima konsekuensi dari perbuatannya.
Kita tentu sepakat bahwa kekerasan fisik atau verbal tidak dapat dibenarkan. Namun, kita juga perlu bijak membedakan antara kekerasan dan ketegasan. Guru yang menegur dengan keras karena cinta, bukan karena benci, adalah sosok yang patut dihormati, bukan dicurigai apalagi dipermasalahkan yang harus mendekap di balik jeruji besi. Pendidikan tanpa disiplin hanyalah pengetahuan tanpa karakter, dan bangsa tanpa guru yang berwibawa akan kehilangan arah moral.
Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat, orang tua, dan pemerintah berdiri bersama mendukung guru memberi perlindungan hukum yang adil, sekaligus memastikan bahwa disiplin dijalankan dengan kasih, bukan dengan kekerasan. Sebab pada akhirnya, di tangan para guru yang berani, tegas, dan tuluslah masa depan bangsa ini dipertaruhkan.
Namun, masyarakat kini hidup di era sensitif terhadap kekerasan. Orang tua yang merasa anaknya diperlakukan keras sering langsung melapor ke pihak berwajib. Media sosial memperkeruh suasana dengan potongan video atau narasi yang belum tentu utuh. Akibatnya, niat mendidik justru berubah menjadi perkara hukum yang bisa mencoreng martabat seorang guru. Dari sisi hukum, tindakan guru terhadap murid harus dilihat dalam dua kerangka utama: Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun pasal yang sering digunakan untuk menjerat guru adalah Pasal 80 Ayat (1) UU Perlindungan Anak, yang berbunyi, “Setiap orang yang melakukan kekerasan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00.“ Selain itu, Pasal 76C UU yang sama menyebutkan,“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.“
Dari sisi hukum positif, anak memiliki hak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan fisik maupun psikis. Maka, tindakan guru betapapun niatnya baik bisa saja dikategorikan sebagai pelanggaran apabila menimbulkan rasa sakit atau luka secara fisik maupun mental.
Namun di sisi lain, ada juga dasar hukum yang memberikan perlindungan kepada guru dalam menjalankan tugasnya. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menegaskan bahwa: “Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual.“
Bahkan, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 39, menegaskan hal serupa: “Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya terhadap ancaman, kekerasan, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.“
Artinya, hukum sebenarnya telah memberi dua sisi perlindungan, kepada anak agar tidak menjadi korban kekerasan, dan kepada guru agar tidak dikriminalisasi saat menjalankan tugas mendidik. Namun persoalan muncul karena batas antara ketegasan dalam mendidik dan kekerasan terhadap anak sering kali kabur dan subjektif.
Hukum pidana memang bersifat lex stricta harus ditafsirkan secara ketat. Tetapi pendidikan tidak bisa diukur hanya dengan logika hitam-putih hukum. Dalam konteks mendidik, teguran keras atau hukuman ringan kerap digunakan sebagai sarana pembentukan karakter. Selama tidak menimbulkan luka fisik, tidak bersifat penghinaan, dan proporsional dengan kesalahan siswa, maka tindakan tersebut seharusnya masuk dalam ranah etika pendidikan, bukan pidana.
Di sinilah dibutuhkan kebijaksanaan penegak hukum. Apabila semua bentuk disiplin dianggap sebagai kekerasan, maka guru akan kehilangan keberanian untuk menegur. Sementara itu, siswa justru akan kehilangan rasa hormat terhadap otoritas pendidik. Padahal, pendidikan tanpa kedisiplinan hanya akan melahirkan generasi yang rapuh dan tidak siap menghadapi kehidupan nyata.
Kontroversi pemidanaan guru sejatinya bukan sekadar soal hukum, tetapi juga cerminan perubahan budaya kita. Dulu, masyarakat memandang guru sebagai orang tua kedua yang berhak menegur dan menasihati anak. Kini, peran itu mulai terkikis oleh sikap orang tua yang terlalu protektif dan oleh budaya instan yang menolak proses pembentukan karakter melalui kedisiplinan.
Namun demikian, guru juga perlu berbenah. Pendekatan disiplin yang digunakan sebaiknya menghindari kekerasan fisik dan lebih menekankan pada pembinaan psikologis dan moral. Guru harus memahami hukum, agar tidak terjebak dalam tindakan yang bisa disalahartikan sebagai pelanggaran hak anak. Pada akhirnya, keseimbangan antara perlindungan anak dan kewibawaan guru harus dijaga. Pemerintah perlu memastikan bahwa hukum tidak menjadi alat untuk menakuti pendidik yang berniat tulus membentuk karakter bangsa. Sebaliknya, guru juga harus menjunjung tinggi etika profesi agar tidak ada lagi alasan bagi siapa pun untuk menuduh mereka melanggar hak anak.
Oleh : Abd Rahman Wahid, S.H (Bendum DPW IMABA Pamekasan)
