Jumat, November 28, 2025
Image Slider

Kemerdekaan Indonesia Bukan Sekadar Seremonial Tahunan

imabapamekasan.id : Kemerdekaan Indonesia adalah tonggak sejarah yang tidak boleh dipandang remeh. Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan sekadar pengumuman politik, melainkan puncak dari perjuangan panjang yang melelahkan, getir, sekaligus heroik. Di balik dua kalimat pendek yang dibacakan Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tersimpan darah yang ditumpahkan di medan pertempuran, air mata yang jatuh dari jutaan rakyat, serta harapan yang membuncah agar bangsa ini benar-benar lepas dari belenggu kolonialisme. Bung Karno sendiri pernah berkata bahwa perjuangannya lebih mudah karena berhadapan dengan penjajah asing, tetapi perjuangan generasi setelahnya akan lebih sulit karena berhadapan dengan bangsanya sendiri. Kalimat itu kini terasa nyata, seakan menjadi nubuat yang menyingkap tantangan zaman.

Setiap tahun, bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan dengan gegap gempita. Dari pusat kota hingga pelosok desa, bendera merah putih berkibar, upacara bendera dilaksanakan, pidato kenegaraan dibacakan, dan berbagai lomba diadakan. Tidak ada yang salah dengan semua itu, bahkan justru penting untuk menjaga ingatan kolektif. Namun, pertanyaan yang lebih mendasar harus terus kita ajukan: apakah kemerdekaan hanya sebatas seremoni tahunan, atau sudah benar-benar menjelma dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia? Pertanyaan ini sering kali luput karena kita lebih sibuk dengan perayaan simbolik ketimbang penghayatan substantif.

Sejarah bangsa ini mengajarkan bahwa kemerdekaan bukanlah pemberian, melainkan hasil dari akumulasi perjuangan panjang. Dari perlawanan Pangeran Diponegoro yang berlangsung lima tahun lamanya, hingga perjuangan Cut Nyak Dhien di tanah Aceh, dari semangat Budi Utomo pada 1908 hingga Sumpah Pemuda 1928, semua menyatu dalam jalan panjang menuju proklamasi. Maka, ketika akhirnya proklamasi itu dikumandangkan, kemerdekaan tidak hanya berarti pengusiran penjajah asing, tetapi juga janji luhur untuk menciptakan tatanan masyarakat yang berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Namun, realitas hari ini sering kali menyajikan ironi. Penjajahan memang telah lama pergi, tetapi wajah-wajah penindasan hadir dalam rupa yang berbeda. Bung Karno pernah mengingatkan adanya bahaya neokolonialisme dan imperialisme, yang tidak datang dengan senjata, melainkan dengan dominasi ekonomi, ketergantungan politik, eksploitasi sumber daya alam, dan ketimpangan sosial. Ketika sebagian kecil kelompok menikmati kekayaan negeri sementara jutaan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan, bukankah itu bentuk lain dari penjajahan? Ketika hukum masih bisa dibeli dan korupsi merajalela di lembaga-lembaga negara, bukankah itu belenggu yang sama berbahayanya dengan kolonialisme asing?

Ki Hajar Dewantara pernah menegaskan bahwa kemerdekaan adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Bagi beliau, merdeka bukan berarti bebas tanpa batas, melainkan bebas yang memberi ruang bagi setiap orang untuk berkembang sesuai martabatnya sebagai manusia. Dalam konteks ini, kemerdekaan sejati seharusnya tercermin dalam akses pendidikan yang merata, pelayanan kesehatan yang adil, kesempatan kerja yang layak, dan perlindungan hukum yang tidak pandang bulu. Selama hal-hal itu belum tercapai, maka kemerdekaan masih sebatas slogan.

Generasi hari ini memikul tanggung jawab yang berat. Jika generasi 1945 berjuang dengan bambu runcing untuk mengusir penjajah, maka generasi sekarang dituntut berjuang melawan ketidakadilan struktural, oligarki politik, serta mentalitas feodal yang masih bercokol. Sejarawan Benedict Anderson dalam karyanya Imagined Communities mengingatkan bahwa bangsa adalah komunitas terbayang, sebuah konstruksi yang bertahan karena adanya kesadaran bersama. Tanpa kesadaran kolektif itu, bangsa bisa hancur meskipun secara formal masih berdiri. Oleh karena itu, memperingati kemerdekaan seharusnya bukan hanya soal mengibarkan bendera atau menggelar upacara, melainkan memperbarui kesadaran bersama bahwa kemerdekaan ini adalah proyek yang belum selesai, sebuah janji yang masih harus diwujudkan.

Sering kali, dalam hiruk-pikuk peringatan 17 Agustus, kita lupa bahwa kemerdekaan sejati tidak terletak pada acara seremonial, tetapi pada keberanian moral untuk menegakkan kebenaran. Jika rakyat masih sulit mengakses pendidikan karena mahalnya biaya, jika petani masih kalah melawan korporasi besar yang merampas lahannya, jika nelayan masih terpinggirkan di laut sendiri, maka kemerdekaan yang kita rayakan belumlah lengkap. Kemerdekaan tidak boleh berhenti pada simbol, ia harus hadir nyata dalam denyut kehidupan rakyat.

Oleh karena itu, peringatan kemerdekaan harus menjadi momentum refleksi, bukan sekadar nostalgia. Ia harus menjadi alarm kolektif bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Generasi penerus bangsa tidak boleh terjebak dalam euforia simbolik, melainkan harus menjadikan kemerdekaan sebagai energi untuk terus memperjuangkan keadilan sosial. Kita tidak lagi melawan penjajah asing, tetapi kita harus melawan mentalitas korup, budaya permisif terhadap ketidakadilan, dan sikap apatis yang membiarkan oligarki semakin mengakar.

Kemerdekaan Indonesia bukan sekadar seremonial tahunan. Ia adalah amanah sejarah yang terus menuntut pembuktian. Upacara bendera, pidato pejabat, dan pesta rakyat hanyalah permukaan. Yang jauh lebih penting adalah isi: bagaimana negara ini memastikan setiap warga merasakan arti merdeka dalam hidupnya. Bung Hatta pernah berkata, “Indonesia merdeka bukan tujuan akhir, melainkan jembatan emas menuju masyarakat adil dan makmur. Jembatan emas itu sudah kita miliki sejak 1945, tetapi apakah kita sudah menyeberanginya dengan benar, atau justru masih terjebak di tengah jalan?

Setiap kali kita memperingati 17 Agustus, seharusnya kita bertanya bukan hanya bagaimana cara kita merayakan kemerdekaan, tetapi sejauh mana kita sudah mewujudkan cita-citanya. Jika jawabannya masih jauh, maka itu berarti tugas kita sebagai bangsa masih panjang. Dan tugas itu hanya bisa diselesaikan dengan kerja keras, kejujuran, integritas, dan keberanian moral. Karena pada akhirnya, bangsa ini hanya akan benar-benar merdeka jika seluruh rakyatnya terbebas dari kemiskinan, ketakutan, dan ketidakadilan.

Oleh : Taretan Romli, S.H (CO Advokasi DPW IMABA Pamekasan 25/26)

Terkini

PilihanImaba

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini