Hujan turun perlahan di sudut kota itu, membasahi jalan-jalan yang telah letih dilalui. Di balik jendela kaca warung kopi kecil, Dhila duduk termenung. Matanya memandang ke luar, seolah mencari sesuatu yang tak kasat mata. Ia telah menapaki jalan panjang, bukan menuju surga, tapi menuju pemahaman.
Dulu, Dhila adalah gadis yang terbakar oleh ambisi dunia. Segala yang diinginkannya, harus ia dapatkan. Tak peduli siapa yang tersakiti, tak peduli siapa yang harus tergilas. Ia adalah pendosa yang gemar membungkus dosa dalam bungkus keberhasilan.
Namun sore itu berbeda. Seseorang datang dan mengubah musim hidupnya. Lelaki itu bernama Ahmad.
Ahmad bukan siapa-siapa. Ia bukan dosen bergelar doktor, bukan pula ustaz bersorban putih dengan suara menggetarkan langit. Ia hanya penjaga perpustakaan masjid kecil di kampus. Tapi tutur katanya lembut, tatapannya jernih, dan kesabarannya mengandung hikmah.
Dhila pertama kali bertemu Ahmad saat mencari tempat sunyi untuk menyelesaikan skripsinya. Kebetulan, ruang baca masjid itu sepi. Ahmad menyambutnya dengan senyum tenang.
“Silakan, Mbak. Di sini nyaman untuk menulis,” ucapnya, sambil menunjukkan meja kecil di dekat rak kitab kuning.
Dhila hanya mengangguk singkat. Baginya, lelaki seperti Ahmad adalah representasi hidup yang terlalu tenang, terlalu biasa, dan terlalu jauh dari hingar-bingar dunia yang ia geluti.
Hari demi hari, Dhila datang. Tak untuk ibadah, hanya untuk meminjam keheningan. Tapi keheningan itulah yang menjadi gerbang hidayah.
Suatu siang, listrik padam. Lampu padam, kipas berhenti. Dhila menghela napas kesal.
“Kesal karena tidak nyaman, ya?” tanya Ahmad tiba-tiba.
“Jelas. Saya butuh listrik untuk bekerja.”
Ahmad tersenyum. “Kalau Allah padamkan cahaya hati kita, masihkah kita bisa bekerja?”
Dhila menatapnya. “Apa maksudnya?”
“Listrik bisa kita isi ulang. Tapi cahaya hati, jika redup karena dosa, hanya bisa dinyalakan dengan sabar dan taubat,” jawab Ahmad.
Dhila terdiam. Kata-kata itu menggema lebih lama dari yang ia kira. Ahmad tidak sedang menghakimi, hanya menyampaikan. Dan sejak hari itu, Dhila mulai mendengar—bukan hanya dengan telinga, tapi dengan hati.
Di satu malam Ramadhan, Dhila kembali datang. Tapi kali ini bukan membawa laptop, melainkan membawa air mata.
“Aku lelah, Ahmad… Aku merasa semua dosa mengejarku seperti bayang-bayang yang tak pernah pergi,” ucapnya.
Ahmad menatapnya lembut. “Tahukah kau kisah Ibnu Hajar al-Asqalani?”
Dhila menggeleng pelan.
“Beliau pernah dicaci karena hidupnya yang serba mapan, dianggap tak mengenal derita. Hingga suatu hari, ia melihat air menetes di batu. Lama-lama, batu itu berlubang. Ia pun sadar, jika air yang lembut bisa menembus batu, maka hati yang keras pun bisa ditundukkan dengan sabar.”
Dhila terisak. “Tapi aku bukan ulama. Aku hanya… pendosa.”
Ahmad menghela napas panjang. “Setiap ulama pernah menjadi murid. Dan setiap murid pernah menjadi pendosa. Yang membedakan adalah kesabaran dan kemauan untuk berubah.”
Malam itu, di tengah sahutan takbir, Dhila menangis bukan karena dunia, tapi karena ia mulai mengenal makna hidayah.
Waktu berjalan. Dhila mulai mengenakan hijab, bukan karena tren, tapi karena kesadaran. Ia mulai rajin membaca buku-buku klasik, dan sesekali menulis catatan refleksi hidup di media sosial. Banyak yang mencibir, menuduhnya “hijrah musiman.”
Namun Dhila tak membalas. Ia belajar dari Ahmad bahwa kesabaran adalah pedang tajam tanpa suara.
Ahmad sendiri tetap menjadi penjaga perpustakaan masjid. Ia tidak pernah meminta lebih dari hidup. Dhila kerap bertanya, “Mengapa tidak mencoba menjadi dosen atau pembicara hebat?”
Ahmad hanya menjawab, “Jika satu orang sadar lewat perantara diamku, itu lebih dari cukup.”
Beberapa bulan kemudian, Ahmad berpamitan. Ia mendapat beasiswa ke Yaman untuk belajar lebih dalam.
“Sampaikan salamku pada kitab-kitab yang kau peluk,” ujar Dhila, menahan haru.
Ahmad tersenyum. “Dan kau, sampaikan salam pada dirimu sendiri. Katakan padanya bahwa sabar itu tidak sia-sia.”
Sejak kepergian Ahmad, Dhila tak pernah lagi menjadi Dhila yang dahulu. Ia kini membimbing anak-anak jalanan membaca, menulis, dan memahami ayat-ayat kehidupan. Ia menyebut dirinya bukan ustazah, tapi “sang pendosa yang sedang belajar sabar.”
Suatu hari, seorang gadis kecil bertanya padanya, “Kak, apakah orang jahat bisa berubah jadi baik?”
Dhila tersenyum, menatap mata jernih anak itu, dan menjawab lirih, “Bisa, Nak. Bahkan batu pun bisa berubah jika ditetesi air terus-menerus. Aku adalah buktinya.”
Angin senja mengusap jilbabnya pelan. Ia tahu, jalan taubat itu panjang. Tapi selama kesabaran masih menjadi sahabat, pendosa pun berhak menuju cahaya.
Bato Ampar, 09 Mei 2025 (jam: 01.34)
Bio Ñarasi
Fhie nama panggilannya Dengan Nama daging Achmad Muafi Siddik dilahirkan di Pamekasan 23 Mei 2001 oleh pasangab yang romantis yang sangat saya cintai dan sayangi yaitu Yusuf dan Hos berlokasikan di Plakpak Pengantenan Pamekasan. Sampai sekarang Alhamdulillah masih senang dalam menempuh pendidikan mulai Pendidikan anak usia dini sampai SMPI Al Basthi dan melanjutkan ke MAS Mambaul Ulum Bata-bata kemudian melanjutkan perguruan tinggi di IAIN Madura yang berada di Pamekasan dengan prodi Tadris Bahasa Indonesia.
Pengalaman yang pernah saya alami sampai sekarang Bendahara Paud -sekarang, Sekertaris Umum Fradiksi IAIN Madura 2023-2024, Ketua Umum DPD Imaba IAIN Madura 2024-2025, Pembina OSIS SMP Al Basthi 2023-sekarang, Tenaga pengajaran tetap SMP Al Basthi dari 2021-sekarang, Salah satu pendiri sekaligus Sekertaris Majlis Khotmil Qur’an dari 2019-sekarang, Pengurus Hmps Tbin IAIN Madura 2023-2024 dan Lainnya. Akun Ig: fhie_z05
