Rabu, November 26, 2025
Image Slider

Menakar Relasi Politik dan Hukum dalam Negara Demokrasi

Oleh: Muhammad Romli

Dalam dunia demokrasi modern, hukum dan politik tak dapat dipisahkan. Keduanya berjalan berdampingan dalam membentuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, seperti dua sisi mata uang, keduanya memiliki hubungan yang rumit kadang harmonis, kadang saling menundukkan. Dalam konteks Indonesia, relasi antara hukum dan politik selalu menjadi sorotan tajam, terlebih ketika praktik-praktik politik dinilai terlalu jauh mengintervensi tatanan hukum yang seharusnya netral dan otonom. Maka, menakar sejauh mana hukum dan politik berkelindan adalah tugas penting untuk menilai kesehatan demokrasi kita hari ini.

Hukum, secara ideal, adalah instrumen keadilan yang berdiri di atas semua kepentingan. Ia dirancang untuk menjadi pengatur, penjaga, dan penegak nilai-nilai universal seperti keadilan, kesetaraan, dan hak asasi manusia. Namun dalam kenyataannya, hukum bukanlah entitas yang lahir dalam ruang hampa. Ia adalah hasil dari proses politik, sebagaimana ditegaskan oleh Harold J. Laski yang menyatakan bahwa hukum tidak lain adalah produk dari tarik-menarik kekuatan politik yang bekerja di dalam masyarakat. Dalam negara demokrasi, proses ini sah dan diakui. Undang-undang dibentuk melalui institusi politik legislatif dan eksekutif yang mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui pemilu. Oleh karena itu, secara struktural dan prosedural, hukum merupakan perwujudan dari kehendak politik kolektif.

Namun yang menjadi persoalan adalah ketika kehendak politik yang membentuk hukum bukanlah kehendak rakyat, melainkan kehendak elite atau oligarki kekuasaan. Di sinilah relasi politik dan hukum menjadi problematis. Hukum, yang seharusnya menjadi pelindung kepentingan umum, justru berubah menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam sejarah Indonesia, kita telah menyaksikan bagaimana hukum bisa digunakan secara represif untuk membungkam suara kritis, seperti yang terjadi selama Orde Baru. Saat itu, instrumen hukum—dari undang-undang hingga aparat penegak hukum lebih sering menjadi perpanjangan tangan penguasa daripada menjadi pembela kebenaran.

Pasca reformasi 1998, Indonesia berusaha membalik keadaan. Kita mengadopsi prinsip negara hukum dalam konstitusi dan memperkuat institusi-institusi yudisial agar tidak tunduk pada tekanan politik. Mahkamah Konstitusi didirikan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, Komisi Yudisial dibentuk untuk menjaga integritas hakim, dan sistem peradilan secara bertahap didorong menuju independensi. Namun, seperti yang pernah disampaikan oleh Hans Kelsen, supremasi hukum bukan hanya soal struktur kelembagaan, tetapi juga soal budaya dan kesadaran kolektif bahwa semua pihak, termasuk elite politik, harus tunduk pada hukum. Tantangan besar Indonesia bukan hanya soal merancang sistem hukum yang baik, tapi memastikan bahwa sistem itu benar-benar dijalankan tanpa intervensi kekuasaan.

Salah satu contoh nyata dari tarik-menarik politik dan hukum adalah dalam proses legislasi. Undang-undang tidak hanya dibentuk melalui proses hukum, tetapi juga lewat negosiasi dan kompromi politik. Hal ini memang wajar dalam sistem demokrasi parlementer, namun bisa menjadi bermasalah bila kompromi itu tidak mencerminkan aspirasi rakyat. Beberapa undang-undang strategis yang disahkan dalam beberapa tahun terakhir, seperti UU Cipta Kerja dan revisi UU KPK, menimbulkan kontroversi besar karena dinilai tidak partisipatif, tertutup, dan cenderung berpihak pada kekuatan ekonomi-politik tertentu. Ini menunjukkan bahwa meskipun kita memiliki mekanisme demokrasi formal, substansi demokrasi dalam pembentukan hukum belum sepenuhnya hadir.

Kritik tajam atas praktik seperti ini datang dari banyak kalangan, mulai dari akademisi, aktivis, hingga tokoh hukum. Mahfud MD, sebelum menjabat dalam struktur pemerintahan, pernah menyebut bahwa politik hukum Indonesia kerap kali terlalu elitis dan menjauh dari ruh keadilan sosial. Hal senada juga diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo, tokoh besar hukum progresif di Indonesia, yang menyatakan bahwa hukum tidak boleh berhenti pada teks dan prosedur, tetapi harus hidup dan berpihak pada yang lemah. Bagi Satjipto, hukum adalah alat pembebasan sosial. Bila hukum hanya menjadi milik para penguasa dan tak bisa diakses oleh rakyat kecil, maka hukum itu telah gagal menjalankan fungsinya dalam negara demokratis.

Lebih jauh, kita juga melihat bagaimana independensi lembaga yudikatif menjadi ujian utama dalam relasi hukum dan politik. Di atas kertas, lembaga seperti Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung memiliki otonomi penuh. Namun dalam praktiknya, dinamika politik sering kali merembes ke dalam proses seleksi hakim dan pengambilan keputusan. Ketika hakim konstitusi dipilih oleh presiden, DPR, dan Mahkamah Agung, maka dimensi politik tidak bisa dihindarkan. Pertanyaannya adalah: apakah para hakim mampu melepaskan diri dari loyalitas politik dan berdiri tegak pada konstitusi? Putusan-putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa ruang abu-abu itu masih sangat nyata.

Namun kita juga tidak bisa menafikan sisi positif dari interaksi antara politik dan hukum. Di negara demokrasi yang sehat, relasi ini justru menjadi pengimbang yang penting. Politik mendorong hukum agar responsif terhadap perubahan sosial, sementara hukum menjaga agar politik tidak keluar dari koridor etika dan keadilan. Dalam sistem seperti ini, pembentukan hukum menjadi arena deliberatif yang melibatkan partisipasi publik, diskusi rasional, dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip dasar konstitusi. Negara-negara dengan tradisi demokrasi yang kuat seperti Jerman dan Kanada telah menunjukkan bahwa hukum dan politik bisa saling memperkuat, bukan saling melemahkan.

Indonesia masih berada dalam proses menuju relasi ideal tersebut. Kita masih berjuang untuk memastikan bahwa hukum benar-benar berpihak pada keadilan substantif. Kita masih berusaha menciptakan tradisi politik hukum yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Peran masyarakat sipil, media independen, dan intelektual sangat krusial dalam proses ini. Tanpa suara kritis dari luar negara, hukum mudah terkooptasi. Ketika parlemen dan pemerintah terlalu kuat, maka keseimbangan bisa dijaga hanya jika rakyat bersuara. Gerakan sosial, seperti penolakan terhadap UU kontroversial, adalah ekspresi demokratis yang harus dilindungi, bukan direpresi.

Di sinilah pentingnya membangun budaya hukum yang sehat. Budaya hukum bukan hanya soal pengetahuan hukum, tetapi juga kesadaran moral bahwa hukum adalah milik bersama. Ia harus ditegakkan secara adil, diterapkan secara merata, dan tidak boleh tunduk pada kekuasaan uang atau jabatan. Budaya hukum yang baik hanya bisa tumbuh jika institusi pendidikan, media, dan keluarga ikut serta menanamkan nilai-nilai keadilan dan integritas sejak dini.

Relasi antara politik dan hukum pada akhirnya adalah cermin dari kualitas demokrasi kita. Jika hukum bisa berdiri tegak meski menghadapi tekanan politik, itu pertanda demokrasi kita kuat. Namun jika hukum hanya menjadi alat kekuasaan untuk membenarkan segala tindakan politik, maka demokrasi kita sedang dalam bahaya. Oleh karena itu, tugas kita sebagai warga negara bukan hanya memilih wakil dalam pemilu, tetapi juga terus mengawasi bagaimana hukum dijalankan dan bagaimana politik bekerja. Sebab demokrasi bukanlah sistem yang berjalan otomatis, ia harus terus dijaga, dikritisi, dan diperjuangkan.

Daftar Rujukan

Aspinall, E., & Mietzner, M. (2010). Problems of Democratization in Indonesia: Elections, Institutions and Society . Singapura: ISEAS Publishing.

Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik . Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hatta, M. (1997). Demokrasi Kita . Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kelsen, H. (1967). Teori Hukum Murni . Berkeley: University of California Press.

Laski, HJ (1964). Tata Bahasa Politik . London: George Allen & Unwin.

Mahfud MD. (2011). Membangun Politik Hukum di Indonesia . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rahardjo, S. (2006). Ilmu Hukum . Bandung: Citra Aditya Bakti.

Rahardjo, S. (2015). Hukum dan Masyarakat: Sebuah Pengantar . Yogyakarta: Penerbitan Genta.

Sartono, B. (2000). Pengantar Ilmu Politik . Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Soeharto, B. (2017). Politik Hukum: Teori dan Praktik . Jakarta: Rajawali Pers.

Sutedi, A. (2018). Hukum Tata Negara . Jakarta: Rajawali Pers.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Wahyudi, A. (2019). Politik dan Hukum di Indonesia: Dinamika dan Tantangan . Jakarta: Grup Prenadamedia.

Diamond, L. (1999). Mengembangkan Demokrasi: Menuju Konsolidasi . Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Dworkin, R. (1986). Kekaisaran Hukum . Cambridge, MA: Harvard University Press.

Habermas, J. (1996). Antara Fakta dan Norma: Kontribusi terhadap Teori Wacana Hukum dan Demokrasi . Cambridge, MA: MIT Press.

Lijphart, A. (1999). Pola Demokrasi: Bentuk dan Kinerja Pemerintahan di Tiga Puluh Enam Negara . New Haven: Yale University Press.

Terkini

PilihanImaba

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini