Imabapamekasan.id – Di tengah hiruk pikuk zaman yang kian bising oleh suara kebebasan, terkadang kita lupa bahwa kebebasan tidak berarti tanpa adab dan kesopanan. Kini, di ruang-ruang maya dan percakapan dunia nyata, mulai terdengar nada-nada sumbang kata yang menista, ejekan yang melukai sesama, diarahkan kepada para kiai dan pesantrennya. Mereka yang sejatinya menjadi pelita bagi bangsa, kini justru dijadikan sasaran hinaan oleh mereka yang tak mengerti nilai sebuah ilmu dan perjuangan mulia.

Kiai bukan sekadar sosok berjubah dan bersorban. Ia adalah penjaga moral, pewaris ilmu para ulama, yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri untuk mencerdaskan hati dan pikiran umat. Dari pesantren lahir para santri yang kelak menjadi guru, pemimpin, hingga pembela kebenaran di tengah masyarakat. Pesantren bukan sekadar tempat belajar agama, ia adalah benteng akhlak, tempat di mana nilai-nilai kemanusiaan dipelihara dengan penuh kasih dan kesederhanaan.
Namun, ketika penghinaan dilontarkan kepada kiai dan pesantren, sesungguhnya yang dihina bukan hanya pribadi atau lembaga melainkan martabat keilmuan, adab, dan kebudayaan bangsa sendiri. Luka itu bukan hanya dirasakan oleh para santri, tetapi juga oleh masyarakat yang masih menjunjung tinggi sopan santun dan rasa hormat kepada guru.

Kita boleh berbeda pandangan, boleh berdialektika dalam ruang publik, tetapi tidak ada alasan yang dapat membenarkan penghinaan terhadap ulama dan lembaga keilmuan. Sebab tanpa adab, ilmu akan kehilangan makna, tanpa hormat, bangsa akan kehilangan arah.
Maka, mari kita jaga lisan dan tulisan kita. Jadikan perbedaan sebagai ruang belajar, bukan ladang caci-maki. Sebab dari pesantrenlah cahaya keilmuan dan ketenangan hati pernah lahir dan akan terus menyinari, selama kita menghormati mereka yang menyalakan pelitanya.
Oleh : Abd Rahman Wahid (Bendum DPW IMABA Pamekasan)
