ABSTRAK
Penelitian ini mendiskusikan urgensi asbab nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an dengan penggunaan deskriptif analisis perspektif Manna’ Khalil al-Qatthan dan Muhammad Abdul Azim al-Zarqani. Penelitian bersifat kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode tahlili (analitis), yaitu mendeskripsikan definisi dari asbab nuzul, peran asbab nuzul dalam penafsiran, dan kaidah-kaidah asbab nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa berdasarkan objeknya bahwa makna kata sebab dalam asbab nuzul bukanlah sebagaimana sebab dalam hukum kausalitas, meskipun sejarah menyebutkan bahwa hal ini benar terjadinya. Asbab nuzul memiliki peran yang sangat penting dalam penafsiran Al-Qur’an dengan melihat kaidah-kaidah asbab nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an yang sudah ada.
Kata Kunci: Asbab Nuzul, Tafsir, Al-Qur’an
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang menjadi objek kajian dari berbagai aspek, mulai dari aspek sintaksis,[1] morfologi,[2] fonologi,[3] semantik[4] sampai dengan aspek historis dari setiap ayat yang diturunkan. Kajian-kajian seperti ini menjadi wajar, bahkan menjadi suatu keharusan untuk menemukan makna sesungguhnya yang masih tersembunyi di dalam keindahan Al-Qur’an.
Salah satu aspek yang marak dikaji dalam upaya menemukan makna dari Al-Qur’an adalah aspek historis dari suatu ayat, atau biasa disebut dengan asbab nuzul. Asbab nuzul merupakan salah satu cabang dalam ilmu Al-Qur’an yang banyak dikaji dari masa terdahulu sampai sekarang, bahkan beberapa ulama membahas secara khusus tentang asbab nuzul dalam kitab yang terpisah daripada cabang-cabang ilmu Al-Qur’an lainnya. Sebut saja seperti al-Wahidi dengan kitabnya Asbab al-Nuzul,[5] al-Suyuthi dengan Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul[6] dan lainnya.
Kajian asbab nuzul memiliki kaitan yang erat dengan sejarah, karena asbab nuzul berbicara tentang peristiwa yang terjadi berkenaan dengan turunnya suatu ayat. Seolah-olah, ketika mengkaji asbab nuzul, kita diajak untuk melihat serta berdialog dengan konteks situasi yang terjadi saat wahyu diturunkan, sehingga ketika menafsirkan ayat Al-Qur’an tidak terjadi kesalahan.
Mengkaji asbab nuzul menjadi penting sesuai dengan yang telah disebutkan. Al-Wahidi ketika membahas tentang betapa pentingnya mengetahui asbab nuzul suatu ayat, ia mengatakan, “Tidak mungkin mengetahui penafsiran suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan penjelasan sebab dari turunnya ayat tersebut”.[7] Ibn Daqiq al-Ied juga menjelaskan bahwa, “Penjelasan sebab turunya suatu ayat merupakan cara dan jalan yang kuat dalam upaya memahami makna-makna Al-Qur’an”.[8]
Dua pendapat dari al-Wahidi dan Ibn Daqiq di atas, tentang betapa pentingnya mengetahui asbab nuzul ayat dalam menafsirkan Al-Qur’an, menjadi bantahan pendapat yang mengatakan bahwa asbab nuzul tidaklah penting dan bermanfaat karena hanya seperti sebuah sejarah.[9] Salah satu manfaat dari mengatahui asbab nuzul yaitu seseorang bisa mengetahui apa maksud dari suatu ayat, untuk siapa diturunkan dan dalam kondisi seperti apa ayat tersebut turun, sehingga dalam mengintepretasikan ayat terhindari dari kesalahan.
Berdasar pada hal di atas, kajian asbab nuzul menjadi menarik untuk dibahas dan penulis jadikan tema dalam makalah ini. Dalam makalah ini penulis akan mencoba untuk mendeskripsikan asbab nuzul mulai dari definisi, perannya dalam penafsiran sampai kaidah-kaidah asbab nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an.
Definisi Asbab Nuzul
Asbab nuzul secara umum didefinisikan sebagai sebab-sebab dari turunnya suatu ayat. Secara literal, kalimat asbab nuzul terdiri dari dua susunan kata, yaitu kata asbab dan an-nuzul. Kata asbab merupakan bentuk plural (jamak) dari kata sabab yang memiliki arti sebab sedangkan kata an-nuzul merupakan bentuk masdar dari kata nazala yang memiliki arti turun. Penggabungan dua kata ini, secara harfiyah dalam ilmu Al-Qur’an memiliki arti sebab-sebab turunnya suatu ayat dalam Al-Qur’an.
Manna’ al-Qatthan dalam kitabnya Mabahits fi Ulumil Qur’an mendefinisikan asbab nuzul sebagai suatu hal yang karenanya Al-Qur’an diturunkan di waktu kejadian baik berupa peristiwa atau sebuah pertanyaan.[10] Adanya sebuah peristiwa atau pertanyaan dan kemudian turunlah ayat Al-Qur’an mengenai hal tersebut, baik sebagai tanggapan, penjelasan hukum atau jawaban dari sebuah pertanyaan yang diajukan adalah definisi dari asbab nuzul yang dimaksud al-Qatthan.
Ali al-Shabuni menjelaskan hal yang tidak jauh berbeda, menurutnya asbab nuzul adalah terjadinya sebuah kejadian atau peristiwa kemudian turun ayat atau beberapa ayat Al-Qur’an mengenai kejadian tersebut, bisa juga adanya pengajuan pertanyaan kepada nabi Muhammad saw dengan tujuan mengetahui status hukum tentangnya atau meminta penjelasan dalam urusan-urusan agama dan turunlah ayat tentang hal itu juga bisa disebut sebagai asbab nuzul.[11]
Definisi yang disampaikan oleh al-Qatthan dan Ali al-Shabuni seakan memberikan pemahaman bahwa turunnya ayat Al-Qur’an dilatar belakangi oleh kejadian, peristiwa atau pun pertanyaan. Kata asbab yang berarti sebab dalam istilah asbab nuzul tidaklah sama dengan arti sebab dalam hukum kausalitas. Dalam hukum kausalitas, sebab merupakan sebuah keharusan yang akan mewujudkan akibat. Jika sebab tidak ada, maka akibat juga tidak akan pernah ada. Untuk itu, jika sebab dalam istilah asbab nuzul memiliki hukum kausalitas seperti demikian, maka adanya peristiwa sebagaimana dalam definisi menjadi alasan diturunkannya ayat Al-Qur’an, sedangkan yang sebenarnya tidaklah demikian.
Al-Qatthan meneruskan penjelasannya bahwa turunnya Al-Qur’an tidaklah berdasar pada adanya kejadian, peristiwa atau pun pertanyaan, melainkan berdasar pada keimanan, kewajiban-kewajiban dalam agama Islam dan untuk menjelaskan hukum-hukum Allah sebagai pedoman dalam kehidupan individual dan kelompok.[12] Meskipun adanya kejadian atau peristiwa telah terjadi secara empiris, namun tidak bisa kemudian hal itu disebut sebagai sebab yang akibatnya adalah turunnya suatu ayat. Adanya peristiwa asbab nuzul di waktu turunnya Al-Qur’an merupakan salah satu manifestasi kebijaksanaan Allah dalam membimbing hamba-Nya untuk memahami ayat-ayat-Nya. Selain itu, tidak semua ayat-ayat Al-Qur’an memiliki asbab nuzul, terdapat banyak ayat dalam Al-Qur’an yang tidak memiliki asbab nuzul.
Al-Ja’bari menyebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam dua bagian, bagian pertama diturunkan secara ibtida’ (tidak dilatarbelakangi sebab nuzul) dan bagian kedua diturunkan dengan latar belakang adanya peristiwa dan pertanyaan.[13] Dengan demikian, tidak semua ayat dalam Al-Qur’an memiliki asbab nuzul dan hal ini telah diakui oleh banyak ulama-ulama yang memfokuskan kajiannya dalam bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Peran Asbab Nuzul dalam Penafsiran
Asbab nuzul menjadi penting sebab kedudukannya yang memiliki peran besar dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Terdapat banyak peran asbab nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an sebagaimana disebutkan Ali al-Shabuni,[14] namun setidaknya ada lima sampai tujuh[15] peran asbab nuzul yang disebutkan oleh para ulama ilmu-ilmu Al-Qur’an.
- Mengetahui sisi-sisi positif (hikmah) yang menjadi dasar atas disyariatkannya hukum, dan ini bermanfaat bagi orang yang beriman dan orang yang tidak beriman. Bagi yang beriman akan bertambah imannya dan timbul keinginan kuat untuk melaksanakan hukum-hukum Allah dan mengimplementasikan ayat-ayat Al-Qur’an setelah menjadi tampak kemaslahatan dan keistimewaan dari disyariatkannya hukum Islam yang sebenarnya untuk ini tujuan Al-Qu’ran diturunkan. Sedangkan orang kafir maka hikmah-hikmah yang terdapat pada pensyariatan hukum akan mengantarkannya kepada beriman, jika dirinya sadar bahwa hukum Islam ini datang untuk menjaga kemaslahatan manusia, bukan untuk menjerumuskan dan menghukumnya. Sebagai contoh adalah penetapan hukum atas pengharaman khamr.[16]
- Membantu dalam memahami makna ayat Al-Qur’an dan menghilangkan keraguan dalam maknanya. Sebagaimana al-Wahidi berkata, “Tidak mungkin mengetahui penafsiran suatu ayat tanpa berdasar pada kisah dan asbab nuzulnya.” Ibn Taimiyah juga menegaskan, “Mengetahui asbab nuzul memberikan petunjuk atas pemahaman ayat, karena pengetahuan akan sebab akan menarik pengetahuan tentang akibat”.[17]
- Menghilangkan kerancuan dari pembatasan hukum (daf`u tawahhum al-Hashr). Dalam QS. Al-An’am (6):145 Allah membatasi makanan yang haram pada empat hal, bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih tidak mengatasnamakan Allah. Jika tidak mengetahui asbab nuzul dari ayat ini, maka akan terjadi kerancuan tentang keharaman makanan-makanan lain yang tidak disebut dalam ayat ini. Untuk itu imam Syafi’i menegaskan bahwa pembatasan dalam ayat ini tidak bermaksud pembatasan, dikarenakan ayat ini turun untuk menaggapi orang-orang kafir yang menolak kehalalan makanan dan keharamannya. Mereka mengharamkan apa yang dihalalkan dan menghalalkan apa yang diharamkan, dan turunlah ayat ini untuk membantah itu, bukan untuk membatasi hal-hal yang diharamkan.[18]
- Mengkhususkan hukum dengan berdasar pada kekhususan sebab bagi mereka yang berpegang dengan kaidah: “Bahwa ungkapan Al-Qur’an itu didasarkan atas kekhususan sebab, bukan pada keumuman lafadz.” Sebagai contoh, dalam QS. Ali Imran (3):188 tentang orang-orang yang bergembira dengan apa yang dikerjakan dan suka untuk dipuji dengan perbuatan yang tidak mereka kerjakan akan disiksa dengan siksaan pedih. Marwan memahami ayat ini sebagaimana keumuman dari lafadznya, sehingga hukum dalam ayat ini berlaku untuk semua orang. Namun ketika bertanya kepada Ibn Abbas tentang ayat ini, Ibn Abbas berkata, “Ayat ini turun membahas ahli kitab” kemudian menjelaskan asbab nuzulnya.[19]
- Kenyataan menunjukkan bahwa adakalanya lafal dalam ayat Al-Quran itu bersifat umum, namun membutuhkan pengkhususan yang pengkhususannya itu sendiri justru terletak pada pengetahuan tentang sabab turun ayat itu. Sebagai contoh adalah kekhususan ayat dalam QS. An-Nur (24):23-25 hanya pada sayyidah Aisyah atau istri-istri nabi lainnya. Untuk itu hukum dalam ayat ini berlaku bagi mereka yang melakukan penuduhan pada sayyidah Aisyah dan istri-istri nabi lainnya, tidak ada taubat bagi mereka yang melakukannya. Namun bagi mereka yang menuduh tanpa bisa menyertakan saksi pada selain istri nabi masih dibuka pintu taubat untuknya berdasar pada QS. An-Nur (24):4-5. [20]
- Mengetahui suatu ayat diturunkan kepada siapa, sehingga tidak terjadi keraguan yang mengakibatkan penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah. Dugaan Marwan kepada Abdurrahman tentang turunnya QS. Al-Ahqaf (46):17 adalah tentangnya adalah kekeliruan. Hal ini dibantah oleh sayyidah Aisyah dengan mengatakan bahwa ayat ini tidaklah turun kepada Abdurrahman, “Demi Allah, tidaklah hal itu demikian, jika aku mau untuk menyebut nama orang yang diturunkan kepadanya ayat ini, akan kusebut namanya.”[21]
- Memudahkan untuk menghafal, memahami dan memantapkan wahyu dalam benak setiap orang yang mendengarnya, jika ia mengetahui sebab turunnya. Karena hubungan sebab dan akibat, hukum dan peristiwa, peristiwa dan pelaku, masa dan tempatnya, semua itu merupakan faktor-faktor penguat dalam ingatan.[22]
Itulah ketujuh peran asbab nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an. Dari apa yang telah dijelaskan, kajian asbab nuzul memiliki ruang yang cukup besar dalam perannya untuk manarik pemahaman yang benar dari ayat-ayat Al-Qur’an. Jika dicermati lebih dalam, bahkan cendikiawan kekinian juga tidak meninggalkan aspek historisitas dari ayat Al-Qur’an. Mereka bahkan mengembangkan kajian dalam interpretasi Al-Qur’an bukan hanya harus mengkaji asbab nuzul (historis mikro) tapi juga membutuhkan historis makro, keadaan bangsa Arab di masa turunnya Al-Qur’an.
Sebut saja sebagai contoh Sahiron Syamsuddin dalam teori hermeneutika ma’na cum maghzanya, ia menjadikan konteks historis mikro dan makro sebagai salah satu aspek yang harus dikaji secara cermat untuk menemukan makna yang sebenarnya dalam interpretasi Al-Qur’an.[23] Selain Sahiron, ada juga cendikiawan seperti Fazlur Rahman, Hasan Hanafi dan lainnya, yang mana menurut mereka untuk mendapatkan pemahaman Al-Qur’an yang kontekstual-substantif memerlukan kajian atas konteks di mana Al-Qur’an diturunkan, jika tidak dan hanya mengandalkan kajian teks saja, maka pemahaman Al-Qur’an hanya sebatas pemahaman simbolistik-normatif.[24]
Kaidah-kaidah Asbab Nuzul dalam Penafsiran Al-Qur’an
Terdapat dua kaidah umum yang banyak dibicarakan ketika mengkaji
asbab nuzul, yaitu kaidah “al-ibrah bi umumi al-lafzi la bi khususi al-sabab” (dasar dalam pengambilan kesimpulan teks adalah keumuman lafaz, bukan pada kekhususan sebab) dan “al-ibrah bi khususi al-sabab la bi umumi al-lafz” (dasar dalam pengambilan kesimpulan teks adalah kekhususan sebab, bukan keumuman lafaz). Kedua kaidah ini bertolak belakang, meskipun dalam setiap kaidahnya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kaidah yang pertama dianut oleh kelompok mayoritas, sedang kaidah yang kedua dianut oleh kelompok minoritas.
Dua kaidah di atas berlaku ketika ayat diturunkan dengan bentuk umum akan tetapi asbab nuzulnya khusus, dalam konteks inilah kedua kaidah di atas berlaku dan para pakar terbagi menjadi dua pendapat sesuai kaidah di atas. Namun jika ayat yang turun, bentuk dan sebabnya umum, maka para ulama sepakat untuk membiarkan keumumannya dan begitu pun sebaliknya, jika ayat yang turun, bentuk dan sebabnya khusus, maka dibiarkan pada kekhususannya.[25]
Setidaknya terdapat tiga kaidah dalam pengambilan kesimpulan mengenai asbab nuzul, jika kaidah yang berbeda di atas terpaksa untuk dipilih. Petama, jika bentuk dan sebabnya umum, maka diambil kesimpulan pada keumumannya. Kedua, jika bentuk dan sebabnya khusus, maka diambil kesimpulan pada kekhususannya. Ketiga, jika bentuknya umum dan sebabnya umum, maka pengambilan kesimpulan pada keumuman lafaznya menurut mayoritas ulama, dan pada kekhusudan sebabnya menurut minoritas ulama.
Kaidah pertama, jika lafaz dan sebab sama-sama umum, maka pengambilan kesimpulan berdasar pada keumumannya. Dalam QS. Al-Baqarah (2):222 tentang perintah menjauhi wanita ketika dalam keadaan haid dan larangan mendekatinya sampai bersihnya haid. Ayat ini turun ketika Rasulullah saw ditanya tentang orang-orang Yahudi yang ketika haid wanita di antara mereka, mereka mengusirnya dari rumah, tidak diberikan makanan dan minuman dan mereka tidak mencampuri mereka di rumah-rumah mereka. Kemudian Allah menurunkan ayat ini, QS. Al-Baqarah (2):222. Dan Rasulullah menegaskan, “Berkumpullah dengan mereka, lakukan apa saja kecuali nikah (hubungan badan).”[26] Ayat ini turun dengan lafaz yang umum, tidak ada penghususan dalam bentu-bentu lafaznya, begitu pula sebabnya, tidak diturunkan untuk orang atau kelompok tertentu. Untuk itu, hukum yang ada dalam ayat ini berlaku umum dikarenakan lafaz dan sebabnya sama-sama umum.
Kaidah kedua, jika lafaz dan sebab sama-sama khusus, maka pengambilan kesimpulan berdasar pada kekhususannya. QS. Al-Lail (92):17-21 ini turun untuk membahas Abu Bakar as-Shiddiq. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar memerdekakan tujuh budak yang semua dari mereka disiksa karena menyembah Allah. Tentang Abu Bakarlah QS. Al-Lail (92):17-21 ini turun. Dalam ayat ini, bentuk kalimatnya diturunkan dalam bentuk khusus karena jika dikaji, kata al-Atqa adalah bentuk isim tafdil (kata yang memiliki arti lebih) dan diiringi dengan adanya al al-‘ahdiyyah, dengan ini sudah tentu bahwa kalimat tersebut diturunkan menggunakan lafaz berbentuk khusus.[27] Untuk itu, QS. Al-Lail (92):17-21 muatan hukumnya hanya berlaku pada Abu Bakar dikarenakan lafaz dan asbab nuzulnya sama-sama khusus.
Kaidah ketiga, jika ayat diturunkan dengan lafaz umum sedang sebabnya khusus, maka ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang mengambil keumuman lafaznya dan ada juga yang mengambil kekhususan sebabnya.[28]
- Pengambilan kesimpulan berdasar pada keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab. Menurut mayoritas ulama, lafaz yang umum bisa mengungguli kekhususan sebab, seperti dalam ayat li’an yang turun mengenai tuduhan selingkuh Hilal bin Umayyah kepada istrinya dengan Syarik bin Sahma. Kemudian Nabi Muhammad saw berkata, “Datangkan bukti atau engkau akan mendapat cambuk di punggungmu.” Hilal berkata, “Wahai Rasulullah, jika salah seorang di antara kami melihat istrinya pergi Bersama laki-laki lain, apakah masih memerlukan bukti?” Nabi tetap berkata, “Datangkan bukti atau engkau akan mendapat sambuk di punggungmu.” Hilah kemudian berkata, “Demi zat yang mengutus dengan membawa kebenaran, sesungguhnya aku benar-benar jujur. Allah akan menurunkan sesuatu yang membebaskan punggungku dari hukuman.” Maka turunlah Jibril dan menurunkan QS. An-Nur (24):6 ini. Hukum dalam ayat ini diambil bukan pada sebabnya yang khusus, yaitu kasus tuduhan selingkuh Hilal bin Umayyah kepada istrinya, akan tetapi diambil berdasar pada lafznya yang umum, sehingga keberlakuan hukumnya juga umum, tidaklah khusus. Kaidah ini merupakan kaidah yang lebih kuat dan benar dikarenakan sesuai dengan ketentuan umum dalam syariat dan diikuti oleh para sahabat dan ulama, selain itu kaidah ini juga merupakan kaidah yang dipakai oleh mayoritas ulama.
- Pengambilan kesimpulan berdasar pada kekhususan sebab, bukan keumuman lafaz. Keumuman lafaz merupakan dalil atas bentuk khususnnya sebab. Untuk itu, diharuskan mendatagkan dalil jika ingin membawa ayat tersebut pada lafaznya yang umum, seperti adanya analogi dan sebagainya, sehingga penyampaian sebab yang khusus memiliki fungsi tertentu. Selain itu, hubungan antara sebab-akibat sama halnya dengan hubungan pertanyaan dan jawabannya.
Itulah beberapa kaidah dalam pengambilan kesimpulan hukum dan pemahamannya berbasar pada asbab nuzul. Jika kaidah ketiga dipisah menjadi dua, maka kaidah yang berlaku berjumlah empat, dengan catatan semua kaidah berlaku dalam kondisinya masing-masing, tidak saling berebut posisi dalam satu kasus sebagaimana dijelaskan diatas.
Kesimpulan
Definisi asbab nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang dengannya ayat diturunkan, bisa jadi sebagai tanggapan, jawaban atau bantahan. Namun perlu digaris bawahi bahwa makna kata sebab bukanlah sebagaimana sebab dalam hukum kausalitas, meskipun sejarah menyebutkan bahwa hal ini benar terjadinya. Asbab nuzul memiliki peran yang sangan penting dalam penagsiran Al-Qur’an. Sebagian dari peran tersebut disampaikan oleh beberapa ulama, di antaranya:
- Mengetahui sisi-sisi positif (hikmah) yang menjadi dasar atas disyariatkannya hukum.
- Membantu dalam memahami makna ayat Al-Qur’an dan menghilangkan keraguan dalam maknanya.
- Menghilangkan kerancuan dari pembatasan hukum.
- Mengkhususkan hukum dengan berdasar pada kekhususan sebab bagi mereka yang berpegang dengan kaidah: “Bahwa ungkapan Al-Qur’an itu didasarkan atas kekhususan sebab, bukan pada keumuman lafadz.”
- Adakalanya lafal dalam ayat Al-Quran itu bersifat umum, namun membutuhkan pengkhususan yang pengkhususannya itu sendiri justru terletak pada pengetahuan tentang sabab turun ayat.
- Mengetahui suatu ayat diturunkan kepada siapa, sehingga tidak terjadi keraguan yang mengakibatkan penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah.
- mudahkan untuk menghafal, memahami dan memantapkan wahyu dalam benak setiap orang yang mendengarnya.
Sedangkan Kaidah dalam asbab nuzul bisa disebut ada tiga:
- Jika lafaz dan sebab sama-sama umum, maka pengambilan kesimpulan berdasar pada keumumannya.
- Jika lafaz dan sebab sama-sama khusus, maka pengambilan kesimpulan berdasar pada kekhususannya.
- jika ayat diturunkan dengan lafaz umum sedang sebabnya khusus, maka ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang mengambil keumuman lafaznya dan ada juga yang mengambil kekhususan sebabnya.
Daftar Pustaka
Ahmad, Syukraini. “Asbab Nuzul (urgensi dan Fungsinya Dalam Penafsiran Ayat Al-Qur’an)”, El-Afkar Vol. 7, No. II, (Juli-Desember 2018).
Al-Naisaburi, Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi. Asbabu Nuzul al-Qur’an (t.t.: t.p., t.t.).
Al-Qatthan, Manna’ Khalil. Mabahits fi Ulumi al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, t.t.).
Al-Shabuni, Muhammad Ali. Al-Tibyan fi Ulumi al-Qur’an (Karachi: Maktabah al-Bushra, 2011)
Al-Suyuti, Jalaluddin Abu Abdurrohman. Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul (Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah, 2002).
Al-Zarqani, Muhammad Abdul Azim. Manahilul Irfan fi Ulum al-Qur’an (t.t.: Isa al-Babi, t.t.).
Anshori, Mohammad. “Wawasan Baru Kajian Asbab Nuzul”, Qof Vol. 2, No. 1 (Januari 2018).
Arsal dan M. Suabakir. “Analisis Kritis Eksistensi Dan Urgensi Asbab An-Nuzul Dalam Penafsiran dan Istinbath Hukum”, Ulunnuha Vol. 10, No.2, (Desember 2021).
Drajat, Amroeni. Ulumul Qur’an: Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Depok: Kencana, 2017)
Muzakki, Akhmad. Stilistika al-Qur’an Gaya Bahasa al-Qur’an dalam Konteks Komunikasi (Malang: UIN Malang Press, 2009).
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2017).
[1] Sintaksis adalah lmu bahasa yang mengkaji segala hal mengenai tata bahasa dalam suatu kalimat.
[2] Morfologi adalah ilmu yang mencakup system cara membentuk kata yang terdiri atas morfem dan fonem. Ia termasuk bidang linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal.
[3] Fonologi adalah ilmu bunyi yang fungsional atau bidang linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.
[4] Semantik adalah cabang linguistik yang meneliti arti atau makna.
[5] Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi an-Naisaburi, Asbabu Nuzul al-Qur’an (t.t.: t.p., t.t.)
[6] Jalaluddin Abu Abdurrohman as-Suyuti, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul (Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah, 2002).
[7] An- Naisaburi, Asbabu Nuzul al-Qur’an, 5.
[8] As- Suyuti, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, 7.
[9] Ibid.
[10] Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahits fi Ulumi al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, t.t.), 74.
[11] Muhammad Ali al-Shabuni, Al-Tibyan fi Ulumi al-Qur’an (Karachi: Maktabah al-Bushra, 2011), 36.
[12] Al-Qatthan, Mabahits, 74.
[13] Ibid.
[14] Al-Shabuni, Al-Tibyan, 33.
[15] Manna’ Khalil al-Qatthan dalam Mabahits fi Ulum al-Qur’an menjelaskan lima faidah dari mengetahui asbab nuzul ayat. Ali al-Shabuni menyebutkan, tanpa penjelasan, empat faidah mengetahui asbab nuzul. Sedangkan al-Zarqani menyebutkan tujuh faidah mengetahui asbab nuzul beserta penjelasan lengkapnya dalam Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an.
[16] Muhammad Abdul Azim al-Zarqani, Manahilul Irfan fi Ulum al-Qur’an (t.t.: Isa al-Babi, t.t.), 109. Al- Qatthan, Mabahits, 75. Al-Shabuni, Al-Tibyan, 33.
[17] Al-Zarqani, Manahilul, 109. Al-Qatthan, Mabahits, 76.
[18] Al-Zarqani, Manahilul, 112. Al-Shabuni, Al-Tibyan, 33.
[19] Al-Zarqani, Manahilul, 112. Al-Qhatthan, Mabahits, 75. Al-Shabuni, Al-Tibyan, 33.
[20] Al-Zarqani, Manahilul, 113. Al-Qatthan, Mabahits, 75.
[21] Al-Zarqaniy, Manahilul, 113. Al-Qatthan, Mabahits, 77. Al-Shabuni, Al-Tibyan, 33.
[22] Al-Zarqaniy, Manahilul Irfan fi Ulum al-Qur’an, 113.
[23] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2017),
[24] Mohammad Anshori, “Wawasan Baru Kajian Asbab Nuzul” Qof Vol. 2, no. 1 (Januari 2018), 34.
[25] Al-Qatthan, Mabahits, 75.
[26] Ibid., 78-79.
[27] Ibid.
[28] Ibid., 79-81.
Moh. Ali Wafi
IAIN Madura – Afuelkholil03@gmail.com
